Jiwa Murni: Mencari Yang Homogen

suatu ketika di saat kami masih bisa tertawa bersama, kami sekawanan (eits...sekawanan domba tersesat, eh lapar) bertandang ke rumah seorang kawan yang sedang berbahagia, dikarunia seorang putra kedua. 


kami pun disambut tuan rumah, kawan kami itu. setelah dipersilahkan duduk, kami pun mengambil tempat masing-masing di atas karpet yang digelar di ruang tamu, mengelilingi sajian yang sudah tertata di ruang tersebut (seingat saya tidak ada biskuit khong guan 😀).


belum jenak kami duduk, tiba-tiba dari ruang dalam berjalan ke arah kami sekawanan, seorang batita imut dan lucu, putra sulung tuan rumah, kawan kami itu. terlihat belum tegak benar si imut dan lucu ini dalam berjalan. setelah mendekat, dia memandangi kami, hampir satu persatu dengan mimik seperti bingung.


hampir kami semua sekawanan domba lapar ini mengulurkan kedua tangan untuk menyambutnya, barangkali ingin memeluk, ingin menggendong, ingin nyuwol pipinya, atau sekedar ber ci luk ba dengannya. dan melihat kami semua mengulurkan tangan, terlihat bertambah bingunglah dia. tak berapa lama setelah dia memandangi kami sekali lagi  lalu dia seperti mantab melangkah ke arah salah seorang dari kami. 


dengan senyum lebar, merasa menang dalam "kompetisi" dadakan mengulurkan tangan, memikat batita lucu dalam dekapan, kawan kami yang pemenang ini pun memeluknya, kemudian memangkunya, kami pun lepas dalam tawa, entah komentar apa saja yang keluar dari kami sekawanan.


masih dalam senyum kemenangan dengan memangku si piala, lalu keluarlah kata-kata "nyombongnya".


"nah iya kan, dia itu tahu siapa yang paling berjiwa murni."


kami pun ramai oleh tawa, cemooh, nada protes, dan suara-suara ketidakberterimaan pada pernyataannya.


"nggak yo, dia itu lebih ngerti pada yang (berjiwa) sebaya."


tiba-tiba salah seorang dari kami sekawanan (sumpah bukan saya) menimpalinya. lalu meledaklah kami semua dalam tawa. barangkali pengeluaran energi tawa yang sepadan sebelum menandaskan sate, gule dan kawan-kawannya. 


kami memang jiwa kanak-kanak yang mrmbimbing anak-anak, yang selalu berbicara seperti telah dewasa namun bertingkah seolah tak pernah dewasa-dewasa. barangkali seperti kata si marsha, kawan si the bear, orang dewasa adalah anak-anak yang berada  di tubuh orang besar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan