Langsung ke konten utama

Anak Kampung dan Orang Gila

pada jaman dahulu kala, di kampung kami terdapat seorang lelaki paruh baya yang dianggap gila oleh orang-orang kampung kami. kegemaran orang ini adalah berkeliling dari dusun ke dusun dengan menenteng pedang (golok?) panjang yang mengilat-kilat ketika tersentuh sinar matahari. ia memakai baju bergaris vertikal agak lebar dengan kombinasi warna biru dan abu-abu. saat mengingat kembali baju yang dia pakai mengingatkan saya pada "kostum" tahanan seperti dalam kartun-kartun lucu. 


informasi perjalanannya sudah pasti terdengar dari mulut ke mulut sehingga penghuni rumah-rumah yang akan dia lalui telah mengatisipasinya dengan menutup rumah masing-masing. dia tak pernah berbuat apa-apa selain hanya berjalan dan berjalan dan hal itu telah dapat membuat teror bagi sebagian besar orang-orang di kampung kami. entah mengapa pihak-pihak yang berwenang membiarkan saja hal itu. 


suatu waktu saya bersama dua atau tiga kawan kecil saya pergi ke jalan raya yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah. saya dan kawan-kawan memang kerap ke sana. pohon keres adalah daya tarik bagi kami untuk selalu berkunjung ke jalanan itu. tepat di depan sebuah rumah seorang nenek yang agak cerewet dua atau tiga pohon keres besar berdiri rimbun di sana dengan buahnya yang besar merah-merah menggoda. kami kerap dapat omelannya juga untuk tidak naik-naik ke pohon-pohon keres itu karena khawatir kalau jatuh. tentu saja buah keres yang memerah dan terlihat besar-besar itu mampu mengesampingkan nasehat "simbah" yang terdengar seperti omelan bagi kami itu.


...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...