Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana:

Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi


(Nurel Javissyarqi)

Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru.


Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu.


Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton.


Setelah itu kita jumpa pun hanya sesekali, mungkin karena jarak dan letak tinggalmu yang lumayan jauh dari kota, selain itu pernah terlontar juga kalau engkau merasa kurang nyaman kalau aku berkunjung ke kediaman, jadi lebih nyaman kalau ketemuan di tempat pertengahan jarak antara tempat tinggalku dan tempat tinggalmu, yang mungkin kira-kira 20 atau 25 menit saat aku tempuh dengan roda dua.

(Nurel Javissyarqi)

Pertemuan yang intens denganmu terjadi saat engkau tiba-tiba mengontakku dan ingin bertemu. Saat itu engkau sedang mengerjakan tulisan tentang SCB dan aku menyerahkan buku Isyarat. 


"buku ini akan aku gunakan  sebagai salah satu referensi tulisanku," katamu saat itu. 


Suatu waktu pada pukul 16.30 Wib dari kantor aku langsung menyusulmu  di masjid agung sebuah kota. Di teras masjid itu kita ngobrol sampai jelang magrib, lalu aku menawarimu untuk menginap di tempat aku tinggal.


Obrolan kita lanjutkan di tempatku tinggal. Sebuah tempat dengan bangunan terbuat dari kayu yang sudah lumayan reyot dan compang-camping tempat sebuah komunitas dzikir beraktivitas.  Aku memang tinggal di bangunan itu untuk beberapa waktu, membiarkan rumah yang berlokasi di kota yang sama kosong dan hanya sesekali aku menyambanginya.


Aku ingat engkau berkata merasakan energi yang melimpah ruah di tempat engkau menginjakkan kaki untuk pertama kali. Lalu engkau memberi saran kepadaku kenapa tidak menyerap energi tersebut untuk fokus menulis misalnya. Dua hal  yang tidak bisa aku lakukan dan yang tertatih-tatih aku lakukan. Kita juga  sempat berjamaah magrib, isya, dan subuh. 


Disela-sela waktu itu kita berdua “ngudar rasa” sampai suara adzan subuh dari toa masjid desa menggema di telinga kita. Engkau berkisah tentang perjalanan hidupmu, pengelanaanmu, pengembaraanmu, kepenyairanmu, oh, bukan kepenyairan, karena engkau selalu tidak suka disebut sebagai penyair atau sastrawan, engkau lebih suka disebut sebagai pengelana. 


Cerita-cerita malam itu entah bagaimana membuat kita berdua menitikkan air mata. Kita menjadi semacam "bocah tua" yang rindu di puk-puk bunda. 


Engkau berkisah tentang seorang ayah yang begitu keras menentang jalan sunyi yang engkau pilih. Seorang ayah yang menginginkan engkau memilih jalan seperti jalan yang beliau tempuh melalui pendidikan tinggi yang tidak engkau sukai. 

(Nurel Javissyarqi)


Saat hari terang usai subuh sebelum berpamitan dan aku pun harus siap-siap untuk berangkat kerja, engkau sempat bercerita melihat orang berjubah putih dengan penampakan yang wajar di di depan kita berjamaah subuh.


Semoga batinmu telah memaafkan hal-hal yang tidak membuat engkau selalu  berada di jalur yang ingin engkau tempuh karena faktor di luar dirimu tersebut. 


Semoga batinmu juga telah berdamai dan memaafkan orang-orang yang menganggap rendah kiprahmu di dunia kepenyairan/sastra, yang engkau sempat merasa terluka oleh komentar-komentar dan anggapan sebagian dari mereka.


(salah satu buku karya nurel javissysrqi)


Dari aktivitas berjamaah itu dikemudian hari engkau selalu membuatku terharu, baik di dunia maya atau dunia nyata saat kita berjumpa atau suatu waktu saat berjam-jam kita telpon via WA, engkau selalu mengatakan kerap membaca apa yang pernah aku baca dalam aktivitas berjamaah kita.


Selain rasa haru pernah juga engkau beberapa kali melontarkan "kebohongan" yang membuat aku senang, yaitu saat aku menyinggung nama besar si binatang jalang, engkau selalu berseloroh lebih menyukai membaca tulisan-tulisanku yang beberapa diantaranya engkau post di website yang aku menyebutnya sebagai "charity projectmu".


Seorang idealis yang aku kenal itu telah pergi mendahului. Seorang idealis yang pernah menyatakan tidak akan pernah mengambil pendapatan dari pendapatnya. 


Seorang idealis yang keukeuh mempertahankan gaya tulisan meski aku yang tidak kompeten ini dengan lancang  kerap menyarankan untuk mengikuti perkembangan jaman. 


Seorang idealis dalam jalan sunyi yang ditempuhnya dengan berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan biaya dan tidak pernah mau mengambil keuntungan dari aktivitasnya. 


Semoga hal itu menjadi salah satu amal baikmu dalam dunia kepenulisan yang diterima Allahu Subhanahu Wata'ala. Amin ya Robbal 'alamin.


SELAMAT JALAN SANG PENGELANA, al-fatihah….


Komentar

  1. A 'Buccaneers' to win Super Bowl - CBS - BSNJ
    바카라 룰 sports-betting-odds-to-win-super bet365 es › sports-betting-odds-to-win-super 토토 커뮤니티 Apr 21, 2021 — Apr 바카라양방계산기 21, 2021 Here are the best bets for 온라인슬롯사이트 the 2021 NFL season. NFL Odds, Props, Predictions: Week 14. +7.5; Cardinals: +2.5

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink