Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2020

Memandangmu dari Sisi Benakku

melihatmu dari sisi benakku diantara cahaya mata terpaku juga pada redup matamu temaram siluetmu di antara celah-celah bidai bambu membayang samar pada pagar mengisahkan kedalaman duka atau rasa rindu yang masih tersisa memisahkan antara benar dan alpa dalam jazirah perjalanan luka engkau berdiri menepi mungkin itu sebuah isyarat engkau telah jenuh menanti atau telah tak ada arti ribuan jarak yang terlewati entah apa yang engkau cari diantara beribu ujung argumentasi mungkin mempertahankan eksistensi tak ada warna abu-abu di langit kita karena Tuan kita hanya memberi dua warna antara mawar atau melati yang tertanam pada masing-masing hati Semarang, 20 November 2010

Anglingdharma

Gambar
  terngiang sebuah derai tawa ketika nanar matanya menatap nyala menembus pada sebuah peraduan, pada suatu peristiwa (yang nyaris sebuah bahagia) pada hati yang kalut, berkabut tidaklah cukup sebuah besaran cinta sekuku hitam bagi belahan jiwa pada hati yang cemburu, diburu sepasang cicak mencipta sebuah prahara awan kepedihan bergelayutan di langit hati Prabu Malawapati bunga-bunga di taman istana tersengal oleh asap hitam kemuraman dihembus nafas angin gemeretak sisa bara menyisa duka di sudut mata menebar bisik sunyi di relung hati ah, dinda, dinda, tidakkah hidup sebuah karunia hingga kau lebih memilih sebuah bencana memanggang cinta kita di tengah bara langit pekat selimuti negeri Malawapati ada yang sunyi, ada yang sendiri terbawa arus dalam sebuah kepergian Juli 2009

Simak Sajak: Lidi Segala Kata (Herry Lamong)

  Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu. Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu. Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang. Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita. Mungkin

Sebuah Nama pada Jejak Sajak

  ~ siwur ~ kau selalu bersikukuh untuk tak menyebut namamu di setiap kita bertemu dalam perjalanan malam-malam itu “ apa arti sebuah nama ” kilahmu sambil mengutip pepatah tak berdasar itu “bukankah banyak yang percaya sebuah nama adalah sebuah doa” pikirku rupanya kau ingin mengekalkan misteri dari namamu padahal tawa kita begitu akrab “karena kau tak akan percaya bila kusebut nama” kau bertaruh sambil bersuara luruh dan ketika itu kau sebagai pemenang karena berkali-kali terlontar kata ”benarkah?” untuk memastikan kau menyebut namamu mungkin ada gurat kecewa ketika terdengar aku tak percaya demikianlah ternyata, kota kita tak begitu luas ketika kutemukan jejak namamu yang dulu pernah berhampir di benakku pada sebuah jejak sajak yang menarik-narik angan pada sebuah tualang ketika mencari seorang belah hati di kemudian hari hanya untuk tersakiti Gresik, 6 Juli 2009

Sekulum Senyum

Gambar
  sekulum senyum entah citra siapa seperti telah aku kenal sejak lama mungkin sebelum aku terlahir kedunia sekulum senyum entah citra siapa seolah merenggut kiblat hatiku hampir seutuhnya sekulum senyum engkaukah citra sang sempurna murungkan jiwaku ketika tak dapat tergapai tuk bersua 2009

Poster-Poster 2009

  ini tentang wajah-wajah terpampang ramah di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian dengan akting paling rupawan berharap-harap sekali tikaman di bagian manapun yang paling aman ini tentang wajah-wajah terpampang murah di pinggir-pinggir jalan dan tempat keramaian dengan slogan-slogan semanis durian berharap-harap sekali tusukan buat nangkring di kursi nyaman ah, ini hanya tentang muka-muka dengan senyum paling ceria seperti bersenandung dan meminta: ”pilihlah aku jadi...................” membuat aku berlagu pilu: ”how can I explain the sorrow and my pain................” Januari 2009

Simak Sajak: Relijiusitas Tak Verbal pada Telepon Berdering Dini Hari

Gambar
  Simak Sajak: Religiusitas yang tak verbal pada Telepon Berdering Dini Hari Sebuah Sajak Bambang Kempling Beberapa waktu lalu masih di tahun 2009 ini saya masih teringat ketika memposting sebuah puisi-puisi-an saya ke milist apresiasi sastra. Ketika itu puisi-puisi-an tersebut mendapat respon dari Hudan Hidayat yang menyatakan bahwa puisi-puisi-an yang saya buat tersebut masih terlalu verbal. Tapi bagaimana lagi, sebagai seorang awam puisi memang sering terjebak pada keverbalan gaya ungkap. Menyatakan A untuk sebuah maksud yang A pula. Menulis B untuk bermaksud menyatakan B pula. Dalam sajak karya Bambang Kempling berjudul Telepon Berdering Dini Hari yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata seperti mengungkap religiusitas yang tak verbal. Jadi religiusitas itu tidak harus mengungkap kata-kata seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain Dalam konsep Islam sepertiga malam akhir atau dini hari sampai menjelang fajar adalah waktu kesunyian dari hiruk pikuk kesibukan dunia. P

Permainan Kata-Kata

  ~ Vony ~ sepanjang siang itu di British Council kata-kata semakin melena-memencil kita. kita adalah sepasang fatamorgana bertabir mesra. bermuka-muka melupa sisa-sisa perih luka di lubuk dada bila engkau akhiri permainan ini, sayangku kepada siapakah tawar tawa ini aku ledakkan? sesiang itu di British Council aku mengaais-kais huruf-huruf ingin kurangkai menjadi kunci sebagai pembuka memasuki gerbang hatimu. namun kata-kata telah membuih di hatimu hingga kata-kata engkau lempar tiada jeda mungkin sebuah kutukan hingga kata-kata menjebak kita menjadi permainan abadi kita pun tetap menjadi sepasang katamorgana pada pucuk-pucuk kamboja bermekaran gairah telah tetirah berteduh dibawahnya tertatih-tatih mengubur sebuah nama seringkali tereja terselip di antara bayang-bayang realita Nov – Des 2008

Ku Lukis Engkau di Pasar Senggol

membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih sepanjang jalan Arif Rahman Hakim sebuah surga bagi para pedagang kaki lima pada jarak lintasan pipa dan rel kereta tua semua ada semua tersedia ingin ke pesan pada seorang pelayan wajah bening lumayan dua porsi makanan satu untukku satu untukmu namun  engkau tak ada  di sisiku membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih sepanjang jalan Arif Rahman Hakim aku tak ingin seperti mereka, seperti seorang kekasih tak setia menunggu dan berharap-harap hampiran lalu lalang orang-orang untuk sebuah penghidupan membayangkanmu dari sini, kekasih terkasih duduk pada sebuah kursi jati berjajar rapi aku hanya bisa meredam kata-kata hati agar tak bergerak dan memberontak seperti gerbong-gerbong kereta tua berderak-derak ke stasiun kota ketika aku saksikan berpasang para muda saling bergenggaman dan bersuapan mesra seperti tak ada siapa-siapa menarik anganku pada suatu masa ketika kita tak hirau sekitar kita Gresik, 24 Desember 2008