Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul



Panggilan Rasul

Oleh: Hamsad Rangkuti



MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.

          Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu. Tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di kamar depan.
          Pelaminan bertingkat tiga berbentuk merak terbang di awan, dibalut kain sutra kuning, hijau, berbunga-bunga kertas yang dilengketkan, sudah tidak lagi diacuhkan. Pelaminan itu sekarang terbenam dalam keheningan di mana orang-orang berkerumun membelakanginya; sudah tidak seperti sejak pesta itu dimulai. Padanya di saat-saat semeriah itu seluruh mata undangan tertuju. Dia seolah-oleh hendak menerbangkan anak sunattan itu dari mata banyak orang, di mana rambu-rambu terbuat dari benang sutra yang berjulaian di sekeliling kipas yang bundar melambai-lambai menepiskan angin.

          Adapun di luar, di meja-meja tetamu dalam teratak yang dihiasi rangkaian-rangkaian janur kuning dan kertas-kertas minyak berwarna merah-putih masih ada para kerja dalam pesta tadi malam melingkar kedinginan ditusuk angin pagi, tidak kuasa meninggalkan kantuk mereka. Di belakang rumah, arah ke pinggir sungai, orang-orang tua yang mungkin lebih cepat mengaso di malam yang dimeriahkan tiga macam permainan itu masing-masing saling memandang, menunggu kabar dari kamar depan. Mereka bergegas meniup api di tungku, memask air, dan memanaskan sisa-sisa makanan tadi malam untuk srapan buat seisi rumah.

          Ibu anak sunatan itu, dimanakah dia? Oh, ia terbenam di kamar sebelah. Ia tak sanggup melihat apa yagn sedang dialami anak lelakinya. Di pipinya mengalir dua tetes air mata. Dari mulutnya keluar kalimat-kalimat tersendat dalamisak yang pilu. Lalu, ayah anak itu? Di mana dia? O, dia juga terbenam di kamar yang sama di tempat istrinya melepas sedu-sedan. Suami istri itu dibalut kecemasan yang dalam. Keduanya sama mendoa, memohon berita yang baik datang dari kamar depan.

          Tiba-tiba saja mata mereka tertumbuk ke satu jurusan. Pada dinding kamar, di mana tergantung dua gambar besar. Kedua gambar besar itu diberi bingkai yang diukir dan dicat dengan warna kuning emas. Gambar itu maisng-masing menggambarkan sebuah pelaminan. Di tiap gambar tampak sepasang suami –istri itu berdiri mengapit seorang anak lelaki yang didudukkan di sana. Anak-anak laki itu masing-masing mengenakan pakaian upacara kebesasran. Di atas peci mereka disusun permata yang memancarkan cahaya gemerlap.

          Cermat sekali perempuan itu melangkah ke dinding. Gambar-gambar itu diturunkannya. Satu per satu ditatpnya erat-erat seolah tak pernah ia selama ini melihatnya. Lalu mata yang kemerah-merahan menahan tangis sejak pesta mulai sunyi, perlahan kelopaknya dirapatkan. Segumpal besar air mata bergulir di pipinya dan menitik menimpa kaca gambar itu. Perlahan sekali gambar itu ia balikkan. Karton ang berdebu diusapinya dengan ujung baju, samar-samar membayang sederet tulisan. Ia tampak seperti membaca tulisan itu: Kamaruddin, anak tertua, disunat rasul tanggal 6 Februari 1952. Meninggal dunia tanggal 6 Februari 1952.

          Karton yang sebuah lagi dibersihkannya pula dengan ujung jari-jarinya yang gemetar. Di antara bayang-bayang rambutnya yang terjulai menimpa karton gambar itu terbaca: Syaifuddin, anak kedua, disunat rasul tanggal 10 Novembe 1957. Meninggal dunia tanggal 11 November 1957.

          “Oh, masihkan akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti ini, dibelakang foto anakku yang ke tiga nanti? Oh… Tuhanku,” keluh wanita itu di antara isakannya.

          “Oh Tuhan, cukuplah anak yang dua ini Kau ambil, ketika sedang kusucikan. Mengapa kau coba hamba-Mu seberat ini? Lanjutkan keturunan kami, ya Allah. Oh, anak-anakku yang malang… mengapa mesti mereka,  yang menanggung semua ini?”

          Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak akan pernah lekang dari matanya yang basah. Kemudian ia menatap ke atas. Katanya, “Jikak putraku yang ini, Lasuddin, Kau selamatkan ya Tuhan, kami akan serahkan dua per tiga dari sawah-sawah itu buat mereka.”

          Pandangannya ia alihkan pelan-pelan ke tempat suaminya terbenam dalam titik-titik air mata.

          “Kau setuju nazarku, kan?”

          “Aku setuju. Nazarmu itu aku setujui. Kita akan bersedekah untuk itu secara besar-besaran. Dan panen tahun ini kita berikan separonya, buat mereka.”

          Kedua gambar di dekapan istrinya itu dia raih, dia perhatikan satu per satu lama sekali. Katanya kemudian, “Aku tidak pernah mengira, pelaminan-pelaminan ini mengantar mereka ke tempat kematian.”

          “Benar katamu, dokter ini seorang spesialis yang ahli?”

          “Kata orang, belum pernah dia menynat anak sampai mati.”

          “Aku masih saja kuatir. Ramalan dukun-dukun itu mulai lagi mengganggu pikiranku. Kau juga mulai diganggu ramalan mereka?”

          “Tidak. Kita tidak boleh terpengaruh oleh ramalan-ramalan. Kita harus berdoa semoga ramalan itu tidak akan menimpa Lasuddin.”

          “Aku masih ingat, mereka menyebarkan ke seluruh kampong ramalan-ramalan itu. Benarkah akan terjadi seperti yang mereka katakana, bahwa semua keturunan kita akan musnah di ujung pisau sunat? Yakinkah kau akan itu?”

          “Kita berserah saja, kepada-Nya. Doakanlah Lasuddin. Bukankah hal itu harus dilalui setiap pengikut Islam yang sejati?”

          Sang suami mendekati daun pintu. Dari celah-celah kain pintu dia hanya dapat melhat kepala-kepala yang bersusun mengarah ke satu jurusan. Dia julurkan kepalanya ketika dia lihat seorang laki-laki tua bergegas mendekat dari kamar depan.

          “Kenapa? Darahnya banyak keluar, ya? Dia tersirap.

          “Dokter baru menjepit kulit ujungnya. Aku tak sanggup melihatnya. Beda benar dengan cara dukun sunat. Tapi kau tak perlu kuatir, kuatkan hatimu. Bukankah katamu dia seorang yang ahli.”

          “Mengapa Lasuddin Abang tinggalkan?”

          “Aku tidak kuat melihatnya. Perutku tiba-tiba saja memulas saat dokter menjepit dan mengangkat pisau yang mengkilap, segera akan memotong kulit ujung itu. Aku mau ke jamban dulu.”

          Ayah anak suanatn itu melihat istrinya yang seperti tersungkur di depan dua gambar besar tadi. Ketika mata mereka saling bertumbuk, istrinya berkata pelan, “Sudah dipotong?”

          “Dokter sedang memotongnya. Doakanlah dia”

          Perempuan itu mengamati lagi kedua gambar itu, sastu daripadanya dia angkat hamper menyentuh ujung hidungnya. Katanya, “Aku masin ingat betapa banyak darah mending si Kamar keluar, tidak henti-hentinya, pagi itu. Darah itu seperti tidak mau berhenti mengucur. Apa Lasuddin akan sperti itu juga?”

          “Tidak. Mudah-mudahan tidak. Lasuddin anak penurut, tidak seperti abang-abangnya. Sungguh dia anak penurut. Aku masih ingat almarhum Kamaruddin, tidak mau dia mengindahkan kata-kataku. Jangan melompat-lompat dan banyak lari-larian, sehari sebelum disunat. Tapi ia tidak mengindahkannya. Terus saja berlarian bersama teman-temannya. Dia seperti lupa akan disunat esok paginya. Akibatnya darahnya turun. Dan dukun pun tak mampu mengatasi.”

          “Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak keluar dari lukanya. Syaifuddin kan juga penurut. Pendiam. Setengah bulan, hamper, dia mengurung diri, karena kau ingatkan kelakuan abangnya sehari sebelum disunat itu. Aku tidak percaya! Aku tidak percaya, jika hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran setengah malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai yakin tentang desas-desus itu bahwa kau oran gyang tamak. Orang yang kikir. Penghisap. Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu karena kesombonganmu, kekikirannmu, angkuhmu, dan tak mau tahu dengan mereka. Aku yakin, mereka menaruh racun di pisau dukun-dukun itu.”

          “Kalau benar begitu, apa lagi yang sekarang mereka sakitkan hati? Aku telah lama mengubah sikapku. Tiap ada pertemuan desa, aku datang. Tiap kemalangan, aku datangi. Tiap derma, aku sumbang. Tiap kesusahan, aku tolong. Tidak seorang dari mereka yang tidak kuundang dalam pesta tadi malam. Kau lihat kan, tiga teratak itu penuh mereka banjiri. Aku yakin mereka telah menerimaku, memaafkan aku.”

          “Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan terakhir ini kau lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu belum ckup. Mereka minta lebih banyak, memusnahkan seluruh keturunan. Menginginkan kematian Lasuddin juga…. Oah, apakah anak yang tak bedosa itu akan mengulangi nasib abang-abangnya? Hanya buat menebus sikapmu yang kikir, tamak, lintah darat. Oh, malangnya. Kejam sekali dendam-dendam itu.”

          Perempuan itu terisak-isak. Badannya terbungkuk di mana mukanya terbenam di antara dua gambar anaknya.

          “Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh, Tuhanku, hanya dia yang kuharap melanjutkan keturunanku. Pewaris harta yang sebanyak ini.”

          Doa suami itu dilanjutkan oleh istrinya, “Mudah-mudahan. Kau Yang maha Pengasih. Yang Maha Kuasa, memperkenankan doa hamba-Mu ini.”

          Luka anak sunatan itu mulai dijahit. Tangan spesialis itu dengan cekatan luar biasa menukar silih berganti seluruh alat bedah yang dibawanya pagi itu. Ruangan itu senyap. Yang terdengar hanya detak alat penjepit jarm penjahit yang ditusukkan ke kulit ujung luka di antara selangak anak itu.

          Bisik-bisik dari mulut ke mulut orang sekampung, mulai ingin dibuktikan. Tiap orang sudah tahu, pagi itu pagi sunatannya anak yang ketiga dari seorang tuan tanah. Setiap pasang mata yang tak terbiasa bangun subuh buta, meninggalkan kebiasaan yang menyenangkan itu pada pagi itu. Dalam rumah, di dapur, di beranda, di pekarangan, orang sekampung membicarakan anak ketiga si Tuan Tanah. Apakah anak terakhir itu akan mengalami nasib yang sama, itualh yang akan dibuktikan. Tidak heran jika di pagi itu tampak orang-orang laki-perempuan dalam selubung kain sarung berlindung dari hawa dingin berbondong-bondong berdatangan ingin mengetahui kebolehan si dokter yang didatangkan khusus dari kota.

          Darah dari luka itu masih keluar menitik-nitik melalui untaian darah yang mengental. Kain penadahnya mulai lenyap dalam warna merah seluruh. Seluruh keluarga semakin gelisah. Di kepala mereka terbayang peristiwa yang dulu, dua peristiwa di tahun-tahun lalu.

          Keyakinan sudah begitu melekat di hati mereka tentang kematian satu rumpun anak orang kaya itu, di ujung pisau sunat, makin menebal ketika kain penadah darah diganti dengan kain yang baru.

          Di halaman, di bawah anak tangga, tetangga-tetangga terdekat maupun yang jauh-jauhsudah berdesakan dalam wajah penuh ingin tahu. Semuanya serasa terlibat.

          Kamar depan itu seolah tempat penting, di mana satu jawaban dari suatu desas-desus yang sudah menjalari seluruh kampong akan terpenuhi.

          Dokter memusatkan perhatian. Itu terlihat dari garis-garis halus yang menggores halus di dahinya. Dia juga tahu desas-desus itu, yang menjalar sampai ke kota. Mungkin karena itulah dia bertindak lebih hati-hati menyentuh luka itu, dan dia tampak melipatgandakan kecakapannya buat menyelamatkan jiwa Lasuddin. Tapi ia juga tahu, namanya akan tercoreng, bila seklai ini sampai gagal.

          “Bagaimana dokter?” Tanya paman anak sunatan itu.

          “Kita tunggu saja. Suruh mereka minggir sedikit, ruangan ini terlampau pengap.”

          “Dia anak ketiga. Dua sebelumnya telah menemui ajal di ruangan ini juga.”

          “Saya tahu cerita itu. Suruh mreke lebih menjauh sedikit. Biar dia lebih bebas mendapat udara yang segar.”

          Paman anak itu member isyarat dengan tangan. Seluruh keluarga itu pelan-pelan merenggang sehingga terbentuk lingkaran yang lebih besar.

          “Dokter oarng yang ketiga. Dua orang yang sebelum ini mengalami kegagalan yang amat mengharukan, di sini. Ruangan yagn semula dipenuhi gelak tawa, tiba-tiba saja pada saat yang mengharukan itu beralihjadi raung tangisan yang menyayat hati, beberapa tahun yang lalu. Sampai dua kali, Dokter.”

          “Aku tahu,” bisik dokter. “Aku pernah dengar cerita itu.” Semua peristiwa yang diungkapkan paman anak itu kini membayang di tiap kepala orang-orang yang melingkar itu. Tiap orang masih ingat akan kegemparan yang ditimbulkan, ketika anak yang kedua menemui ajalnya juga. Seluruh undangan yang jummlahnya memang sedikit ketika itu berkunjung kembali pada esok paginya, ketika selama setengah jam kentong di langgar-langgar dipukul orang sambung-menyambung. Kegemparan timbul karena anak yang petama telah mendahului adik-adiknya, pada pagi hari sunatan lima tahun sebelumnya.

          Jadi di pagi ini orang menjenguk lebih berduyun-duyun daripada dua peristiwa yang sebelumnya. Mengapa tidak? Karena tuan tanah itu telah termakan oleh desas-desus yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Buat mengobati hati mereka, waktu anak ketiga itu akan disunat, dia mengadakan pesta yang meriah. Seluruh orang tua, pemuda, dan gadis-gadis sekampung menerima sehelai undangan. Di kertas undangan, ayah anak itu memohon doa restu atas keselamatan anaknya yang ketiga itu. Tidak mengherankan bila pagi ini orang pun berbondong-bondong seolah akan menghadiri suatu keramaian duka.

          Di jalanan orang mulai berderet-deret berdesakan masuk pekarangan. Di tiga bangunan pesta, orang mulai membanjir melempar mata ke kamar depan. Di jendela-jendela, di pintu dan melalui celah-celah, mata orang banyak mencoba menembus lingkaran orang di dalam kamar depan itu. Mereka menanti kepastian dari sana.

          “Bagaimana, bergantikah kegembiraan semalam dengan aiar mata pada pagi ini?”

          “Aku belum tahu. Aku juga baru sampai. Tapi belum ada kudengar tangisan dari sana.”

          Jari-jari dokter mulai melilitkan perban pembalut.

          “Bagaimana, Dokter? Mungkinkah darah bakal merembes, dari balik perban pembalut?”

          Paman anak sunatan itu melepaskan tangan dari dagu Lasuddin.

          Dokter mematikan simpul pembalut. Orang di sekitar dipandanganinya hampr satu per satu.

          “Anak ini seharusnya tidak seperti yang kalian duga. Dia lain dari kedua abangnya. Urat-urat di kemaluannya tidak seperti yang ada di kemaluan abangnya, seperti yang tadi Bapak ceritakan itu. Saya pernah dengar peristiwa itu. Dan saya tahu urat-urat yang membawa kematian orang. Sehingga kita harus hati-hati agar menghindarkan kematian. Saya tahu banyak tentang teori urat-urat pada kemaluan. Dan ini tidak akan membawa kematian Lasuddin. Lihat saja perban itu. Bila urat-urat di sana membawa ajal, darah dari balik perban pembalutnya akan merembes seperti air yang merembes pada kain cucian yang belum diperas.”

          Dokter diam sejenak, lalu melanjutkan kepada semua orang.

          “Tapi kalau dugaan keluarga ini benar bahwa ada sekelompok oran gyang ingin kematian seluruh anak tuan tanah ini, maafkanlah ucapan saya: anak ini harus kalian jaga ketat. Jangan biarkan mereka mendekat atau mencoba membuka kainnya. Sebenarnya, aku kurang yakin bahwa mereka menaruh racun berbisa pada pisau dukun-dukun sunat itu. Tapi tidak ada salahnya kalau Saudara-saudara hati-hati, buat menghindarkan segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Jagalah kemungkinan itu, biar tidak terjadi. Lindungi anak ini. Dari segi medis saya jamin keselamatannya.”

          Dokter sepesialis itu lalu tersenyum. Benda yang dia operasi kecil itu ditepisnya dengan ujung jarinyanya. Dan anak sunatan yang terbujur di depannya membalas senyuman dokter itu dengan tertawa kecil.

          “Besok pagi, Buyung, kalau ada “lawan” yang berani menggodamu, layani saja. Ia sudah bisa dipkai bertempur.”

          Mendengar gurauan dokter spesialis itu, serentak wjah-wajah yang menyaksikan peristiwa itu mengulumkan senyum.


1962

Sumber Tulisan:
Panggilan Rasul, Gramedia, Cet. Pertama, September 2010

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan