Horror at the Office

(Si Cantik Danilla Riyadi)


kursi-kursi dalam kubikel telah mulai kosong. satu dua kawan bersuara dengan sapaan, "yuk pulang dulu." "iya" atau "o.k." merupakan suara yang kerap kali keluar dari mulutku dengan mata yang masih fokus pada layar monitor.


"semangat empat lima." sepintas ada kelebat kalimat itu dalam benakku. mungkin senyum di bibir juga. sebuah jokes untuk mereka yang pulang tepat waktu atau bahkan kurang dua atau tiga menit dari jam pulang sudah berada di depan mesin presensi untuk check (out) clock pulang. 


aku juga pernah demikian ketika masih harus menyelesaikan studi. rata-rata mereka yang pulang ke luar kota punya "tradisi" demikian. harus mengejar angkutan umum yang hampir tiap hari mereka naiki untuk sampai pada bus yang menjadi favorit atau bus dengan jam paling awal berangkat saat mereka pulang. sampai di rumah lebih awal, bertemu dan berkumpul dengan keluarga adalah sebuah kebahagiaan tak ternilai.


aku masih tenggelam dengan kalimat-kalimat yang aku ketik, aku hapus, aku ketik lagi dengan kalimat lain sambil berpikir tentang susunan yang benar dan baik. tentu menurut versiku. ruangan tampak terang. terlihat oleh sisi kanan kiri mataku yang masih fokus pada monitor. 


bertempat di meja kerja dekat tangga yang menghubungkan ruangan lantai satu dan lantai dua tempat orang-orang berlalu-lalang memang kerap menjadi gangguan tersendiri.  selain kerap menjadi orang pertama yang dituju untuk bertanya sesuatu bila ada orang luar yang bertamu juga menjadi tempat bertanya bila ada kawan kerja dari departemen lain yang punya kepentingan dengan kawan lain sedepartemenku yang kebetulan tidak di tempat. tidak berada di tempay karena berdinas ke luar kantor atau bahkan kanya karena mereka sedang berada di toilet.


dari lantai bawah terdengar ramai. suara-suara yang tidak jelas bicaranya namun masing-masing agak keras volume suaranya. saling bersahutan. ada suara yang berat dengan bariton yang terdengar berwibawa atau suara-suara biasa. namun aku tak dapat menangkap kata-kata mereka sedikitpun. barangkali karena aku konsentrasi penuh pada pekerjaan.


"ah, kayak pasar aja. pekerjaan apa yang mereka ributkan,"  pikirku sambil tetap fokus pada tugas yang ingin segera aku selesaikan.


setelah beberapa saat entah mengapa badan terasa capek. lalu dengan tetap duduk aku meregangkan otot-ototku. tangan. kaki. lalu mataku menyapu ke sekeliling ruangan. dari jendela kaca yang gordennya belum tertutup. di luar tampak sangat gelap.


"oh,sudah hampir jam dua rupanya." kataku dalam hati ketika memperhatikan jam dinding yang beberapa meter di hadapanku.


 "oh, ruangan ini terang karena lampu ruangan menyala semua." pikirku. 


"berarti salah apa yang sempat terpikir olehku tadi. ruang terang oleh cahaya matahari dari luar yang menerobos masuk melalui jendela kaca depan dan belakang gedung." 


bangunan berlantai dua bercat putih yang terletak di belakang bangunan gedung berlantai satu.


aku beranjak dari tempat duduk lalu menuju tangga. ketika baru menapak turun beberapa anak tangga aku menjadi penasaran. ruang kerja tepat di bawahku, lantai satu itu, ternyata gelap gulita.  aku teruskan turun ke ruang tersebut dan benar-benar gelap. tak ada seorang pun yang ada di ruang itu. 


"iyalah, kan sudah hampir jam dua dini hari," suara lainnya dalam benakku menyela.


"lalu suara-suara yang hingar bagai pasar tadi apa?," tanyaku pada diri sendiri. tiba-tiba terasa merinding. 


dengan berupaya tetap tenang aku kembali ke ruang kerjaku. mencoba konsen untuk merampungkan beberapa hal. lalu beberapa saat kemudian aku putuskan untuk menyudahinya. mematikan pc, merapikan meja kerja lalu bergegas turun. menuruni tangga melewati ruang kerja tepat dibawah tempat sumber suara-suara ramai terdengar. 


ruang itu telah aku punggungi dan mesti masih melewati ruang kerja dua departemen lagi. syukurlah ada satu lampu menyala di ruang kerja paling ujung. aku buka pintu keluar ruang kerja paling ujung dan masuk ke lobby yang justru sialnya tak ada lampu yang dinyalakan. cahaya temaram dari lampu teras masuk ke ruang lobby melalui pintu kaca dengan gorden putih transparan. aku tahan untuk tidak menoleh ke belakang meski ada keinginan yang kuat untuk menoleh. dengan gegas aku tarik handle pintu keluar lobby. ketika kaki kananku melangkah keluar pintu tiba-tiba seperti terdengar suara merdu, sedikit ada gema yang menambah kemerduannya, suara seorang perempuan, memanggil namaku.


"taru.........."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan