Langsung ke konten utama

Wanita-Wanita Perkasa

 

Gelap masih menyelimuti bumi. Adzan Subuh masih belum juga terdengar. Ketika Sal melintasi jalanan sempit berbatu mendaki yang lumayan tajam itu. Bayangan pepohonan dipinggir jalan menambah kegelapan dan kengerian jalan.

Tertiup angin fajar bayangan dedaunan dan ranting pepohonan seperti makhluk-makhluk aneh yang menari-nari dijalanan. Hanya ada beberapa rumah saja nampak terlihat agak terang dengan lampu penerangan seadanya. Samar-samar dari belakang Sal melihat bayangan-bayangan hitam sedang berjalan menaiki jalanan mendaki. Terdengar suara-suara saling bersahutan namun tidak jelas apa yang mereka bicarakan.

Mungkin bagi mereka yang belum terbiasa melihat hal ini akan ketakutan seperti melihat hantu-hantu malam bergentayangan. Bayangan hitam bergerombol itu memang seperti bentuk-bentuk makhluk mengerikan yang berjalan naik turun menyusuri jalanan mendaki.Sal mempercepat langkahnya hingga hanya berapa langkah dibelakang bayangan-bayangan hitam tadi yang ternyata adalah rombongan beberapa wanita dengan beban daun jati dipunggungnya untuk dijual dipasar.

Mereka melingkarkan selendang sebagai tali beban daun jati yang terlihat sangat berat. Dengan jarak hanya beberapa langkah dari rombongan itu suara-suara saling bersahutan yang ternyata obrolan diantara rombongan wanita penjual daun jati itu semakin jelas didengar oleh Sal.

“Payu pira yu, wingi?”
[1] Tanya wanita paling depan

“Eh..luwung Mi, isok digawe tuku blonjo digawe mangan sedino”
[2] Jawab wanita dibelakangnya.

"Alkamdulillah Yu, sampean iso langsung payu, wingi iku aku ngenteni payu sampek rodok awan”
[3] kata wanita disamping wanita yang dipanggil Yu itu.

Sal mempercepat langkahnya kembali melewati rombongan wanita penjual daun jati seperti biasa Sal mendapat sapaan ramah dari mereka.

“budal, Le?
[4]

“Inggih, De”
[5] jawab Sal sopan.

“Dalem riyin, De”
[6] sambung Sal.

“Iyo, Le sing ati-ati”
[7]

Senin pagi itu Sal memang harus kembali kekota untuk sekolah. Seperti senin-senin sebelumnya Sal harus selalu bangun pagi untuk naik bus mini dari desanya ke terminal. Seperti biasa dalam bus benak Sal selalu terbayang wajah-wajah wanita tetangga di desanya yang hampir tiap pagi menggendong daun jati untuk dijual dipasar.

“Ah…betapa susahnya mencari uang, mereka bersusah payah menggendong beban berat hanya untuk mendapatkan uang beberapa ribu untuk biaya makan hari itu juga bagi keluarga” pikir Sal dalam hati.

“Bila sakit siapakah yang menanggung biaya hidup mereka?” Tanya Sal pada diri sendiri.

Sal beruntung punya Ayah yang memiliki tanah luas sehingga bisa membiayai hidupnya, bahkan dapat membiaya sekolahnya sampai kekota. Meskipun terkadang masih kurang dan harus meminta bantuan Kakak Sal yang bekerja dikota lain.

Sebuah kesempatan yang jarang dilakukan oleh orang-orang didesanya. Disamping masih menganggap pendidikan tidak penting bagi anak-anak mereka, kebanyakan juga karena keterbatasan ekonomi.Entah siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi ini.

Seperti juga Sal yang selalu memanjatkan doa setelah menyelesaikan sujud-sujudnya tentu mereka juga selalu berdoa agar diberi kebaikan dunia dan kebaikan pada saat kehidupan nanti serta diberi kelapangan dan tambahan rizki yang halal.

Apakah memang Tuhan berada ditempat yang jauh, yang tak tergapai manusia yakni di Arsy sehingga rintihan mereka tidak didengar. Sehingga tetap saja mereka harus menggendong beban berat setiap hari untuk dapat makan.

Tetap saja anak-anak mereka tidak dapat bersekolah sehingga harus bekerja seperti yang mereka kerjakan.

“Ah, Tuhan memang jauh” pikir Sal.

Lalu dalam benak Sal terngiang-ngiang suara-suara keras dari loud speaker yang tiap saat saling bersahutan memanggil-manggil nama Tuhan.


[1] Laku berapa, Yu (panggilan untuk wanita yang lebih tua), kemarin”
[2] “Eh..lumayan Mi, bisa dipakai beli belanja untuk makan sehari”
[3] “Alhamdulillah Yu, bisa langsung laku (barang jualan), kemarin saya menunggu sampai agak siang baru laku”
[4] “Berangkat, Le (panggilan kepada anak laki-laki, Thole)?”
[5] “Iya, Bu De”
[6] “Saya duluan, Bu De”
[7] “Iya, Le, hati-hati”
Notes:
- Judul tulisan ini terinspirasi oleh sebuah puisi yang dimuat di milist penyair
- Tulisan ini sebelumnya berjudul wanita-wanita penjual daun jati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...