Langsung ke konten utama

Apa Kata Penyair BS: Tentang Puisi-Puisi(an) yang ku tulis

Berangkat dari keragu-raguan dan kebutaan dalam menjelajah belantara sastra, saya mencoba menuangkan apa yang saya lihat, rasa, dan alami dalam kehidupan dengan memilih diksi-diksi yang ada dalam memori menjadi sebuah organisasi kata-kata yang aku menyebutnya sebagai puisi atau sajak. Hiruk pikuk benak yang seringkali tertarik ke depan dengan kecemasan dan harapan, tertarik ke belakang dengan lukaduka dan rinai tawa adalah wilayah expresif yang menjadi ladang ide dalam pembuatan puisi-puisian saya.



Latar belakang pendidikan dan lingkungan dimana saya menapakinya memang bukan dari sastra. Hanya berbekal semangat menyukai karya sastra termasuk puisi dan semangat untuk bisa menulis puisilah yang menjadikan organisasi kata-kata itu ada dan saya kumpulkan di blog http://dunia-awie.blogspot.com. Tapi entahlah apa organisasi kata-kata yang saya buat itu telah memenuhi kriteria untuk disebut sebagai puisi/sajak atau tidak. Atau bahkan mungkin masuk menjadi tulisan sampah yang layak masuk TPA.


Dengan menyisipkan sisa harap di sudut hati dan semangat untuk tetap berkarya (menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan) saya berupaya untuk mencerap proses pembuatan puisi dengan membaca puisi-puisi karya penyair baik yang terkenal maupun puisi cyber dari nama-nama tak dikenal. Membaca apresiasi puisi oleh Hasan Aspahani, Penyair (http://sejuta-puisi.blogspot.com) dan ulasan-ulasan atau esay-esay puisi (http://www.puisi.net) dan beberapa sumber lain yang saya temukan di dunia maya.


Meskipun demikian cara-cara tersebut belum meyakinkan saya untuk membuat puisi yang “baik dan benar” meskipun Rainer Maria Rilke (Jerman) berkata dalam Surat Untuk Penyair Muda:

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang dalam di ceruk-ceruk hatimu. Buatlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya "ya", jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap "aku harus", maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Berangkat dari ketidakyakinan tersebut saya mencoba mengirimkan beberapa puisi-puisian saya ke penyair yang saya ketahui melalui dunia maya untuk mendapatkan komentar dari mereka, orang yang memang bergelut dengan dunia puisi dengan karya-karya yang telah memenuhi media masa dan etalase-etalase pertokoan. Bukan untuk mencari legalitas tapi untuk memberikan evaluasi (kritik?) dan motivasi sehingga saya dapat membuat puisi-puisian yang lebih ”baik dan benar” lagi


Diantara penyair yang berbaik hati mau memberikan komentar tersebut adalah Penyair yang rendah hati asal Purworejo yang kini bekerja di Departemen Keuangan, Budhi Setyawan (http://budhisetyawan.wordpress.com) yang telah melahirkan beberapa karya diantaranya antologi puisi ”Kepak Sayap Jiwa”, ”Penyadaran”, dan ”Sukma Silam”.

Balasan atas permintaan komentar atas tulisan yang saya buat sebagaimana tertuang dalam email dibawah ini:


----------------------------------------------------------------------------------
From: budhi setyawan
MDaemon has confirmed that this message was sent by yahoo.com
To: Zawawi
Date: 30/10/2007 09:41 AM
Subject: Re: Give Comment on my Poems


Matur nuwun atas kiriman puisinya. beberapa puisi telah saya baca di milis penyair; ap-sas; Kabarindonesia.

dalam beberapa waktu kadang say ahanya jadi penikmat murni sajak atau puisi, dan tak bisa memberi balasan puisi atau komentar. yang seharusnya 'sejenak ku terlarut' eeh... malah menjadi 'renyai2 kata2mu memagutku.. menyergapku... dan ku tak mampu berkata apa'.

waktu saya baca di milis, terus terang saya takjub. sering saya 'bertemu' dengan untaian kata yang tak pernah terpikiran saya sebelumnya.

sebenarnya saya kan sama dengan mas zawawi, sebagai penulis. saya bukan kritikus sastra. jadi kalau memberi komentar, ya sebatas 'ujung kebodohan dan kedunguan' saya ya mas. (karena juga proses kreatif dan pengayaan pengalaman hidup mas zawawi lebih banyak dan bervariasi..)

seperti tadi saya tulis di atas, misal ada tertulis: 'aku terkapar tak berkabar'; 'merindu damai dengan sang nasib', dll... saya bertemu dengan untaian kata yang mengajak saya terkesima. (disini mungkin adanya 'pertemuan' dari maksud/jiwa penulis dengan pembaca/audience)

saya suka puisi2 tsb. saya menemukan ada 'alam' saya di situ yaitu gaya Chairil Anwar, Mustofa Bisri, Rendra. Pas, mengena, tak terlalu berbelit dan rumit. (karena saya kurang cakap, jadi kadang masih bingung baca puisi para sastrawan senior yang berhasil masuk koran KOMPAS edisi Minggu. mohon maaf)

yang jelas, semoga Insyaallah njenengan tetap konsiten dan semangat terus menulis.

menulis adalah nafas bagi seorang penyair/sastrawan.

salam,
*BS*
08158030529
------------------------------------------------------------------------------------
Karena kesibukan tidak semua penyair dapat memberikan komentar atas tulisan yang saya kirimkan dan saya bersyukur mendapatkan motivasi dan inspirasi dari penyair terkenal, Pak Budhi Setyawan yang dapat meluangkan waktunya untuk menuliskan komentarnya. Terima kasih Pak Budhi atas keramahtamahannya baik lewat email maupun SMS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...