Langsung ke konten utama

Patah Arang



Ketika membaca Jawa Pos hari minggu, 25 Mei 2008 kemarin aku langsung menuju ke halaman “Budaya” yang biasanya memuat cerita pendek, puisi atau esai-esai tentang sastra dan budaya. Mata aku pun langsung tertarik pada artikel yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, seorang penyair dan budayawan asal Madura yang dimuat pada kolom “Jeda” dengan judul Mencari Budi Utama,.

Dalam artikel tersebut D. Zawawi Imron menulis tentang peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang menurutnya pada masa itu yaitu 100 tahun yang lalu telah terjadi kesadaran kolektif masyarakat kita yang mungkin adalah kaum terpelajar dan intelektual untuk memberi harkat dan martabat kepada tanah air dan para penduduknya. Sebuah momen yang pantas dikenang oleh generasi bangsa kita saat ini.

Setelah membaca artikel tersebut aku pun tergelitik untuk “curhat” dengan mengirimkan pesan pendek kepadanya.

Aku merasa tidak dapat memaknai 100 Tahun Kebangkitan ketika melihat masih banyak kesusahan akibat mismanajemen pengelola bangsa”

Bagaimana tidak, ketika menyimak tontonan peringatan 100 Tahun Kebangkitan yang di hadiri orang nomor satu negeri ini yang ditayangkan diseluruh stasiun televisi dengan menampilkan budaya khas dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, memori aku langsung menampilkan imaji yang digambarkan oleh M. Junus Melalatoa dalam kumpulan puisinya Luka Sebuah Negeri (Obor, 2006). Betapa aku merasa hambar melihat tari-tarian dan demontrasi-demontrasi gerak yang dibawakan oleh ratusan atau mungkin ribuan orang yang mewakili daerah-daerah / suku-suku bangsa kita. Aku seperti melihat sebuah senyum getir dan kebahagiaan semu seorang ibu, senyum dan keriangan yang dipaksakan sedangkan dibalik dada menyimpan nganga luka dan ibu itu adalah ibu pertiwi.

Nganga luka yang diakibatkan oleh pembabatan hutan, eksploitasi sumber daya alam, korupsi, perebutan kekuasaan dengan berbagai cara, pengelolaan Negara yang tidak berorientasi untuk rakyat, eksploitasi tenaga kerja wanita, dan penyimpangan-penyimpangan yang membuat harkat dan martabat bangsa yang telah diawali kebangkitannya sejak 100 tahun yang lalu ditangan generasi kini seperti menjadi terkubur kembali. Belum lagi realitas sehari-hari yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat yang paling dasar (pokok) seperti antrian LPG, antrian minyak tanah, kenaikan BMM, dan melambungnya harga-harga kebutuhan hidup. Ah, benarkah kita telah bangkit? Atau memang dulu, dulu sekali, 100 tahun lalu kita memang pernah bangkit. Namun saat ini, ditangan generasi mutakhir yang lebih mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, golongan sendiri bukan memikirkan kepentingan seluruh rakyat, kita benarkah telah terperosok ke jurang dan tak mampu bangkit lagi?


Nokia 1100-ku yang telah pudar huruf-huruf dan angka-angka di keypadnya pun bergetar dan aku buka pesan yang ternyata adalah balasan dari D. Zawawi Imron:

“aku juga begitu. tapi kita tidak boleh putus asa untuk berjuang dengan akhlak mulia agar kita tidak termasuk orang yang menyetujui kerusakan”

Aku sangat setuju dengan nasehat tersebut. Aku memang tidak memiliki kemampuan untuk mengubah semua itu. Hanya mengubah diriku sendirilah yang bisa aku perjuangkan untuk tidak ikut serta dalam membuat kerusakan. Ya, membuat kerusakan, sebuah profesi manusia di dunia protes malaikat kepada Tuhan ketika diawal penciptaan manusia pertama.

Melihat realitas demi realitas yang terjadi dalam penyelenggaraan negara di negeri ini aku telah mengambil keputusan pribadi untuk tidak menggunakan hak memilih pemimpin dalam pemilihan-pemilihan yang digelar baik tingkat daerah maupun pusat sebagai bentuk ketidaksetujuanku terhadap proses kerusakan.

Memang begitulah suara-suara untuk mengajak-ajak kepada kebaikan dan meningalkan ketidakbaikan yang merupakan ruh dari setiap tulisan-tulisan D. Zawawi Imron yang aku sukai dan berusaha untuk tidak melewatkan setiap tulisannya yang aku jumpai untuk aku baca sebagaimana dikatakan dalam pesan pendeknya:.

“Jadi kalau saya menulis, tak lebih dari suara amar ma’ruf nahi munkar”

Diakhir artikel tersebut merupakan cermin dari suara-suara itu yang mengajak kita bangkit untuk ber-"budi" dan ber-"daya". Karena tanpa budi dan daya, sebuah bangsa hanya akan jalan-jalan di tempat, dan tidak akan mampu membuat sejarah gemilang yang pantas dibanggakan oleh anak cucu, katanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...