Langsung ke konten utama

17 Agustus

kami telah merdeka

ketika satu sembilan empat lima
sejak enam puluh dua tahun silam
lamanya

pejuang - pejuang tanpa nama telah merebutnya
bapak – bapak bangsa telah mengumandangkannya
bumi pertiwi itu milik kami seutuhnya kebebasan di genggaman
kami bersuka cita

ribuan pulau elok dilingkupi biru lautan membentang
lautan kami luas bak tak terbatas
setiap tetes air asinnya kami orang yang punya
kami terpana

jamrud khatulistiwa bumi gemah ripah loh jinawe kami pijak
hutan rimba perawan kami menghijau menghampar menghias di bumi tropis
seluruh kawasan hutan rimba raya punya kami orang juga
kami berbangga

setiap jengkal tanah subur ibu pertiwi
hamparan kolam susu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman
melahirkan kilau permata intan berlian emas hitam kami punya juga
kami silau mata

enam puluh dua tahun lamanya kami terus menanti dan meneliti
lautan kami punya bahkan setiap tetes air asinnya kami juga yang punya
kecuali ikan – ikan dan seluruh isi yang terkandung didalamnya
kami mengelus dada

lautan kami tergerus tak terurus
pasir-pasir kami diekspor untuk merampok batas laut kami sendiri
ikan – ikan kami dicuri kapal – kapal tak dikenal
yang sekali tangkap seperti hasil kami berhari – hari menantang bahari

dimanakah para penjaga negeri
terseok – seok dengan kapal rongsok
suatu ketika kami menanyakannya
”anggaran kami sangat terbatas teknologi kami jauh dari memadai untuk menjaga negeri seluas ini” kilah mereka

ah….. ternyata
tanpa sepengetahuan kami mereka menggasaknya
sebagai biaya produksi mengobral janji – janji yang pasti
pasti di ingkari dari pilu ke pilu dari pemilu ke pemilu



enam puluh dua tahun lamanya kami terus menanti dan meneliti
hutan rimba perawan kami menghijau menghampar menghias di jamrud khatulistiwa
seluruh kawasan hutan rimba raya itu kami yang punya kecuali pohon – pohonnya
kami berurai air mata


ah........... ternyata
dibelakang kami derum gergaji membahana di pedalaman rimba raya
menumbangkan pepohonan menukar banjir longsor panas kegersangan
menebalkan kantong para cukong

dimanakah para penjaga negeri
sesekali tayang di televisi berita tentang penangkapan
orang – orang ramai memperbincangkan setelah itu lenyap tak berberkas
derum gergaji masih tetap membahana pohon – pohon tetap roboh menjerit bersuara

enam puluh dua tahun lamanya kami terus menanti dan meneliti
setiap jengkal tanah subur ibu pertiwi melahirkan kilau permata intan berlian emas hitam tapi mereka bilang b tiga(*
kami tetap menaruh asa

potret memerah negeri hijau
merahmu kapan memasuki senja
lenyap di malam gelap
agar difajar hijaumu menghampar mengakar



Notes:
b tiga = B3 = Bahan Berbahaya dan Beracun

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...