Langsung ke konten utama

Simak Sajak: Lidi Segala Kata (Herry Lamong)

 Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu.


Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu.

Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang.

Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita.

Mungkin demikian makna sajak karya Herry Lamongan yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata dengan judul yang sama yang dimuat dalam Majalah Sastra Indupati Tahun IX/2009 No. 1 yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA).

Jadi problem (lindu) apakah yang paling menyedihkan diantara guncangan-guncangan yang ada yang mengisi hari-hari kita pada saat perjumpaan maupun saat perpisahan diantara jalinan hubungan antar manusia dalam koridor toleransi?

Kenapa problema-problema (lindu) itu bisa terjadi? Apakah karena diri pribadi kita yang tidak tahan atas guncangan-guncangan itu (terlalu gelap beranda dada) ataukah memang karena aksi yang kita terima memang terasa begitu menyakitkan?

Mengawali sajaknya dengan kalimat tanya seolah-olah Penyair ingin menyajikan permasalahan yang sering kita hadapi dalam perjalanan hidup yang harus berinteraksi dengan manusia-manusia lain sebagai makhluk social.

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian


mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

Penyair membuat lindu sebagai metafora bagi problema-problema yang dihadapi manusia sebagai hasil interaksi antar manusia: lempeng sana dengan lempeng sini / dalam bumi pengertian

Atas problema-problema yang datang kepada kita itu semestinya memang kita tak perlu menyesalinya sebab problema-problema hidup, kata-kata yang menyakitkan seperti yang disimbolkan dengan lidi segala kata itu dalam perjalanan hidup akan selau kita temui:

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati


Kita akan seringkali menemui hal itu sebagai sebuah kewajaran dalam hidup yang berinteraksi dengan manusia lain dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda: sebab lidi segala kata / sudah jauh / berulang-ulang / menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

Bilamanapun ada sesal, ada tangis atas problema-problema itu benak kita terkadang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Sebagaimana filosofi orang-orang tua dulu yang sering menyatakan untuk “diunggahno ya diuduno” (dipikir-pikir / ditimbang-timbang / dipasrahkan) bila ada problema-problema kehidupan yang menerpa kita.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

Problema-problema atas hasil interaksi dengan manusia lain itu adalah sebuah kewajaran atau sunatullah: supaya kembali kepada makna / betapa kita tak sendiri

Tapi entah mengapa meskipun telah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya membuat tak berduka atas problema-problema itu, sang penyair masih bersikukuh untuk merasa dalam kekal duka. Meskipun lindu itu telah berlalu kekal tetap membasah, kekal duka yang tak kunjung kering meski beribu kali dibasuh.

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

Mengapa kekal duka tak kunjung kering? Mungkinkah karena terlalu gelap beranda pada dada? Mungkinkah karena pekat siap pada setiap pesta?


Inilah sajak selengkapnya karya Herry Lamongan, salah satu penyair senior lamongan yang giat membina para pengrajin syair pemula di Lamongan melalui Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) yang pada tanggal 6 Desember 2009 kemarin genap berusia 10 Tahun.

Sajak Herry Lamongan
Lidi Segala Kata

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian

mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

madedadi, Nov 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...