Profil: Jumartono, Pelukis Muda Lamongan

 

  1. Jumartono tidak pernah menyesali pilihan hidupnya dengan berprofesi sebagai pelukis yang masih digelutinya sampai saat ini. Justru dari profesi itulah banyak hal yang dia dapatkan, meskipun dari aspek materi, mungkin tidak terlalu menjanjikan. Aspek-aspek lain yang membuatnya betah misalnya adalah pertemuannya dengan berbagai kalangan masyarakat pencinta seni lukis mulai dari yang berprofesi sebagai pengusaha, artis, atau dari kalangan pelukis itu sendiri baik yang sudah ternama maupun pemula. Interaksi dengan berbagai kalangan pencinta seni lukis dan apresiasi mereka semakin menambah pengkayaan batin bagi dirinya. Dengan melukis itu pula Jumartono dapat berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia dalam rangka memamerkan lukisan-lukisan hasil karyanya atau untuk kepentingan lain yang terkait dengan dunia seni lukis. Baginya, hal-hal non materi yang telah dia peroleh dan dia alami tersebut merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya.



    Perjalanannya sebagai seorang pelukis diawali ketika Jumartono kecil melihat aktivitas sehari-hari seorang tetangganya, Masbukhin, yang juga berprofesi sebagai pelukis. Persentuhannya dengan sang tetangga itulah yang telah menginspirasinya untuk mulai mencintai dunia corat-coret. Jumartono kecil mulai gemar corat-coret dengan berbagai media yang berada di sekitarnya mulai dari papan triplek, tembok rumah, pagar rumah, bahkan buku tulis untuk catatan pelajaran sekolahnya pun tak luput dari hasratnya yang menggebu untuk menuangkan segala kegelisahannya melalui coretan-coretan. Seringkali buku-buku untuk catatan pelajaran yang dia miliki cepat penuh karena dari depan dia isi dengan catatan pelajaran yang diperolehnya dari guru di sekolah, sedangkan dari belakang digunakan untuk corat-coret sesuai suara hatinya.


    Jumartono mulai mengenal melukis di atas kanvas ketika menginjak sekolah menengah pertama (SMP). Dari kegemarannya terhadap seni lukis itu, selepas menyelesaikan studinya di sekolah menengah pertama, Jumartono disarankan oleh seorang teman untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Surabaya, yang saat ini menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Sebelas, Surabaya. Pada saat itu hanya ada empat buah SMSR. Keempat sekolah tersebut tersebar di kota besar Indonesia yaitu Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Padang.




    Ketika telah akrab dengan dunia akademis itulah Jumartono baru memahami bahwa melukis itu tidak hanya sekedar menggambar, sebagaimana yang dia persepsikan sebelumnya. Bahwa dalam melukis itu ada wacana, ada dinamika, ada persoalan-persoalan, jadi tidak hanya sekedar memindahkan obyek lukis di atas kanvas.


    Dalam eksplorasinya, ada empat fase perjalanan kepelukisan Jumartono yang semakin lama semakin menampakkan jati dirinya. Fase pertama, hasil karyanya tampak sangat memperhitungkan figur nan elok dengan tema-tema manis dan akrab. Mungkin sesuai dengan kemudaannya yang masih digelorakan oleh cinta dan teman hidup sehingga pada fase ini banyak dijumpai lukisan perempuan-perempuan dalam berbagai ekspresi. Fase kedua merupakan pengaruh karakter pribadinya dalam menumpahkan ekspresi. Kepribadian yang pendiam tetapi relatif praktis dan cepat dalam tindakan, menggerakkan efek-efek rupa ekspresif dengan figur-figur dramatis. Fase ketiga, Jumartono mengerjakan proses melukisnya yang dilakukan di luar studio, berhadapan langsung dengan obyek lukisan, obyek tidak lagi imajinasi dari cetusan abstrak ekspresif, tetapi pemandangan asli yang termuati emosi sehingga gaya ekspresif eksis mendukung rupa efek. Sedangkan pada fase keempat, masih dalam ekspresionisme yang seolah telah menyatu dengan dirinya, namun eksplorasi dilakukan dari aspek media lukisan, yaitu dengan menggunakan batu candi.


    Dengan media dari batu candi, yaitu batu yang diperoleh melalui proses alam, lahar dingin gunung berapi yang dia dapatkan dari Yogjakarta, hasil-hasil karyanya sangat mewakili tema-tema kekerasan sosial dan psikologis masyarakat kecil yang menjadi obyek lukisannya akhir-akhir ini. Karakter batu candi berwarna hitam dengan kontur kasar dan berpori-pori besar seolah menyatu dengan obyek lukisan yang dia angkat dari realitas sosial yang dijumpainya sehari-hari di lingkungan dia tinggal. Berbagai karya-karya lukisannya itu bisa dilihat di galeri pribadinya, Modern Art Gallery, yang terletak di Jalan Sunan Giri No. 25, Lamongan, Jawa Timur.



    Sebagaimana dalam proses eksplorasinya yang mengalami berbagai kendala sampai dengan bertemunya bentuk-bentuk yang sesuai dengan jiwanya, perjalanan hidup seorang Jumartono juga mengalami pasang surut. Pernah mengalami masa-masa sulit sehingga hampir tidak bisa berkarya karena untuk sebuah karya lukis memerlukan biaya yang tidak murah, jangankan untuk berkarya, untuk menopang kehidupan sehari-hari pun sangat sulit. Kondisi tersebut pernah membuatnya memutuskan untuk mengambil jeda dari dunia seni lukis, dan meninggalkan dunia seni lukis telah membawa dirinya bekerja sebagai orang upahan pada sebuah galeri pembuatan patung. Namun rasa cinta tak dapat menjauhkan hatinya dari dunia seni lukis, hingga akhirnya dia kembali menapaki apa yang telah dia cintai dan geluti sejak masih kecil tersebut hingga sampai detik ini.


    Sebagai pelukis muda, yang masih penuh gairah dan semangat untuk berkarya dan maju, masih banyak obsesi-obsesi yang ingin dia raih. Diantaranya adalah rencananya untuk membawa kembali seniman seni rupa Lamongan untuk melakukan pameran di luar Lamongan sebagaimana pernah dilakukannya dulu ketika dia menjadi motor bagi terselenggaranya pameran lukisan bertajuk “Sili Obong 2002” di Galeri Surabaya. Saat itu pameran tersebut dibuka oleh Bupati Lamongan, M. Masfuk, S.H. yang sampai dengan saat ini telah menjabat dua periode sebagai Bupati Lamongan.


    Kini, sudah hampir dua periode Jumartono menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa di Dewan Kesenian Lamongan (DKL). Sebelum mengakhiri masa kepengurusannya itu, dia punya obsesi ingin menyelenggarakan sebuah even besar seni rupa di Lamongan dengan mengundang para seniman dari luar Lamongan.


    -----***------
    Keterangan:
    Lukisan karya Jumartono:
    1. Sejenak Berpikir
    2. Duduk dan Menunggu
    3. Kontemplasi
    4. A Long Journey


    Profile:


    Nama : Jumartono
    Tempat, tanggal lahir : Lamongan, 12 Juni 1978
    Alamat                     : Jalan Basuki Rahmad Gg V/16, Lamongan, Jawa Timur
    Studio                      : Modern Art, Jalan Sunan Giri No. 25, Lamongan, Jawa TimurAgama
    Agama                     : Islam
    Pekerjaan                 : Pelukis
    Pendidikan                : Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Surabaya
    Status                      : Lajang

    Aktivitas Pameran


    1. Pameran Tunggal
    1995 - Pameran Lukisan Tunggal, "Mendung, Hujan, dan Tanah" di Gallery Surabaya


    2. Pameran Bersama
    2007 - Pameran Seni Lukis Bang Wetan “ Spirit of Indonesia ” di TMII, Jakarta
    2007 - Pameran Seni Lukis Festival Seni Surabaya “ Peradaban Baru ” di Surabaya
    2007 - Pameran Seni Rupa “ Gelar Akbar Jawa Timur 2007 ” Taman Budaya, Jatim
    2006 - Pameran eran Seni Rupa “ Semangat Estetika 2006 ” di Lamongan
    2006 - Pameran Lukisan “ Jambore Seni Lukis Nusantara ” di Surabaya
    2005 - Pameran Seni Rupa “ Spirit 2005 “ di Lamongan
    2004 - Pameran Seni Rupa “ Membaca Peta Seni Rupa Jawa Timur ” di Taman Budaya, Surabaya
    2004 - Pameran Lukisan “ New Fokus, Destination ” di Gallery Surabaya
    2004 - Pameran Lukisan “ Spirit 2004 ” di WTC Surabaya
    2003 - Pameran Lukisan “ Suka Cita 9 ” di DKM Malang
    2003 - Pameran Lukisan “ Nuansa Eksotika ” Pelukis 5 Kota di Sidoarjo
    2003 - Pameran Jambore Seni Lukis Surabaya 3 di Balai Pemuda Surabaya
    2002 - Pameran Lukisan “Sili Obong 2002 ” di Gallery Surabaya
    2002 - Pameran Lukisan “ Ekspresi Lima Ragam ” di Balai Budaya, Jakarta
    2001 - Pameran Lukisan “ Art Festival 2001 ” di Bizzete Gallery, Jakarta
    2001 - Pameran Jambore Seni Rupa Nasional di Ancol, Jakarta
    2000 - Pameran Lukisan “ Jangan Menangis Ibu Pertiwi ” di Hotel Sahid, Jakarta
    2000 - Pameran Jambore Seni Rupa Nasional di Ancol, Jakarta
    2000 - Pameran FKY di Benteng Viedeburg, Yogyakarta
    2000 - Pameran Seni Rupa Memperingati Ulang Tahun Pasar Seni Ancol, Jakarta
    1999 - Pameran Lukisan “ Spirit Millenium II ” di Hotel Borobudur, Jakarta
    1999 - Pameran FKY di Benteng Viedeburg, Yogyakarta
    1999 - Bursa Seni Lukis Jawa Timur di Hotel HYAT, Surabaya
    1998 - Pameran Seni Rupa “ Tiga Rupa Metamorfosa ” di Taman Budaya, Surabaya
    1998 - Pameran Seni Eksperimental di Koridor Balai Pemuda, Surabaya
    1997 - Pameran Lukisan “ Memperingati Hari Kartini ” di Gedung Pemda Lamongan
    1997 - Pameran Lukisan Bersama Kerabat Nawa di Nganjuk
    0 

    Add a comment

  2. Oleh: Abu Salman


    Ketika menikmati Tarian Bumi (IndonesiaTera, 2003) dan Sagra (IndoensiaTera, 2003) saya merasa seperti diajak oleh Oka Rusmini untuk berada di tengah-tengah Negeri 1000 Dewa. Berinteraksi dan menyaksikan parade keindahan dan kesakralan upacara-upacara dan ritual-ritual sebuah tradisi eksotis dan luhur, penuh simbol-simbol pemujaan kepada yang kuasa. Menyaksikan gemulai dan keelokan penari-penari rupawan. Sebuah "profesi" yang banyak diminati gadis-gadis muda di pulau indah itu. Menjadi sebuah simbol, menjadi pusat perhatian baik dalam ranah penghiburan maupun dalam ritual pemujaan.

    Disamping mengajak saya untuk berada di tengah-tengah keelokan dan keluhuran sebuah adat, tradisi, dan budaya negeri para dewa di pulau Dewata, Bali sebagai salah satu keragaman etnis dalam pilar-pilar bangunan kebinekaan Republik Indonesia.
    Oka Rusmini seolah-olah juga mengajak saya untuk menengok dan merasakan sebuah ketidakadilan yang dikonstruksi oleh masyarakat dalam sebuah tradisi yang masih membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dari status sosialnya (kelas/kasta). Ya, Oka Rusmini seperti mengajak saya untuk meneropong dan menggugat Bali dengan sebagaian tradisinya yang menihilkan nilai-nilai cinta dan kemanusiaan.

    Demikian pula ketika saya menikmati sajak-sajak dalam "Luka Sebuah Negeri" karya M. Junus Melalatoa (Yayasan Obor Indonesia, 2006). Saya seolah-olah diajak untuk berkelana dan singgah untuk menjadi saksi. Bukan hanya pada sebuah tradisi dan budaya sebuah etnis di Indonesia, akan tetapi berbagai ragam etnis yang menjadi komponen kebinekaan sebuah negeri kita tercinta yang sedang terluka.

    Luka Sebuah Negeri seolah-olah menyadarkan saya akan negeri elok dengan kurang lebih 18 ribu pulau dan ratusan etnis yang dengan suka rela hidup berdampingan dalam kesadaran untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Sebuah bangsa besar yang disatukan sejak titik kulminasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

    Sebagai seorang Profesor, antropolog yang juga penyair atau penyair yang antropolog dengan pengalaman langsung di lapangan dalam rangka melaksanakan kegiatan penelitian atas keragaman berbagai etnis di kepulauan nusantara (etnografi) , M. Junus Melalatoa sangat fasih bicara tentang adat istiadat, tradisi, dan budaya etnis-etnis di Indonesia yang dituangkan dalam sajak-sajaknya.

    Dengan rekaman realitas yang didapatnya dari penelitian, sebagai seorang yang berjiwa peka realitas-realitas tersebut "didokumentasikan’ dalam sajak-sajaknya yang indah dan menyentuh. Sajak-sajaknya seolah-olah memanggil-manggil saya untuk mengenal lebih dalam dan menyadari, tidak sekedar mengetahui betapa bangsa Indonesia sangat kaya dengan keragaman etnis yang berbeda adat, tradisi, dan budaya.
    Suatu adat, tradisi, dan budaya yang unik yang menunjukkan ketinggian dan keluhuran etnis-etnis yang menjadi pilar-pilar bagi terwujudnya suatu bangsa yang besar. Ketinggian dan keluhuran tradisi dan budaya yang tercermin dari kemuliaan perilaku masyarakat dan pimpinan etnis tersebut.

    Setelah menyadari kebinekaan, keluhuran, ketinggian, dan kemuliaan adat, tradisi, dan budaya berbagai etnis bangsa kita yang menempati wilayah terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur, saya seperti di dorong-dorong untuk berempati betapa dibalik itu semua masih ada yang masih harus tercecer dan tersingkir dari sentuhan derap langkah pembangunan, baik pembangunan jasmani atau rohani, fisik atau non fisik yang menjadi komitmen dan kewajiban negara dalam proses mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Mari kita simak rekaman realitas-realitas yang telah dilihat, didengar, dirasakan, direnungkan oleh M. Junus Melalatoa yang sangat fasih dituangkan dalam sajak-sajaknya, mulai dari ujung paling barat, Aceh.

    Sosok jasad beku ini
    yang tengah dinanti anak-istri
    ketika adzan magrib bergema
    tak di dengarnya lagi
    padahal ketika lahir kalimah suci itu
    berulang di kumandangkan ke telinganya
    oleh orang tua
    sesudah senja sosok itu tertelan gelap malam
    perang mengiringi nasibnya menjadi temaram
    (Catatan Harian Anak Negeri, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Rekaman realitas pergolakan di Aceh yang meminta korban dari pihak mana saja telah menyisakan nyeri bagi sanak saudara yang ditinggalkan korban-korbannya. Dan perang itu juga menyisipkan teror dibenak siapa saja, seolah-olah esok hari tiada harapan untuk hidup:

    Seiring datangnya senja daun-daun menjadi layu
    Sebagaimana layunya dedaunan itu
    Hati ini pun ikut layu
    Bersama geletar malam
    Mengalir pula tanya
    Apakah diri ini masih di beri waktu
    Esok hari
    (Catatan Harian Anak Negeri, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Perang itu juga membuat "ORANG-ORANG terusir dari kampung kesayangan / - terusir oleh dukanya / kampung yang dulu punya segala / punya harga diri, kasih sayang / punya tertib sopan dan setia kawan / kini konon tergerus pupus". Ya perang itu telah menjadi hantu yang meneriakkan "jerit cericit" dan "kicau pilu bertalu-talu".

    Dari Aceh, M. Junus Melalatoa seperti mengajak saya untuk menelusuri pedalaman Kalimantan dan singgah menemui kesederhanaan dan kemuliaan orang-orang yang ditemui dalam penelitian sekaligus yang diteliti yang pada akhirnya mereka saling terpaut untuk menjadi sahabat.

    Betapa banyaknya sahabatku
    satu-satu kuhitung nama
    semerbak: Peledek, Pelukin, Ire, Iban
    satu-satu kuingin wajah
    indahnya sekeliling
    satu-satu ku kenang dirinya
    betapa mulia hati
    (Sahabatku, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Sebagai sahabat ia sangat berempati ketika melihat ketidakadilan yang menimpa para sahabatnya. Bagaimana orang-orang yang menjaga alam yang telah diwarisi dari generasi ke generasi justru diberikan stigma sebagai kelompok yang menjadi penyebab rusaknya alam. Bukannya segelintir manusia-manusia serakah yang memeliki Hak Pengrusakan Hutan (HPH), "DEGAM-DEGUM hutang ditebang / berkeping-keping kayu melayang / detak cabang rapuh jatuh / terhembus rubuh ke bumi" dan siapakah mereka?

    Kalian dengar kabar tentang
    Pitnah yang kejam
    Kambing hitam
    rusaknya alam
    bumi yang dipelihara mati-matian
    untuk sekedar tidak mati
    (Kenyah Long Merah, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Meskipun sebenarnya keseimbangan alam selalu di jaga. Bukankah manusia "tradisional" menggunakan alam hanya untuk eksis dan survive? Bukan untuk menumpuk kekayaan, menumpuk modal, memenuhi ambisi yang tiada habis-habis untuk diwariskan anak cucu, sampai tujuh turunan kalau perlu. Seperti yang dilakukan dan diimpikan "orang datang dari jauh / dengan salam takzim" dan penuh adab mereka, para penjaga alam merentangkan jawaban yang diakhiri dengan senyuman.

    Tetapi ketika ku dengar
    Kepak sayap enggang
    Titik embun dari ujung daun
    ketipak kaki kijang
    yang tak pernah mematahkan ranting
    maklumlah aku
    siapa kau
    (Sahabatku, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Masih di pedalaman kalimantan, M. Junus Melalatoa menulis diatas tulisan – tulisan realitas tentang peradaban suku Punan yang memiliki peradaban sebaya China.

    Punan tua – mungkin sebaya buah tengkawang
    Setidaknya setua peradaban tembikar Cina
    Karena di sana ad guci suci
    Dari dinasti sebelum Masehi
    Di barter dengan batu bezoar
    (Punan Tua II, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Peradaban yang tinggi yang dimiliki salah satu suku bangsa kita dengan keunggulan-keunggulannya dalam "pergaulan" antar bangsa harus habis di kikis kesombongan dan keserakahan modernitas.

    Keunggulan komparatif zaman nirkela
    kini ditebas habis oleh arogansi dungu
    akhirnya turunan Punan Tua pun jadi transmigran
    terlunta dalam keterasingannya sendiri
    (Punan Tua II, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

    Dari menoleh rasa kebanggaan yang telah jadi kenangan di pedalaman Kalimantan, saya diajak untuk menengok keramahan bahasa kasih sayang dan kesakralan upacara di Sumba. (Bersambung)
    0 

    Add a comment

  3. Ketika membaca Jawa Pos hari minggu, 25 Mei 2008 kemarin aku langsung menuju ke halaman “Budaya” yang biasanya memuat cerita pendek, puisi atau esai-esai tentang sastra dan budaya. Mata aku pun langsung tertarik pada artikel yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, seorang penyair dan budayawan asal Madura yang dimuat pada kolom “Jeda” dengan judul Mencari Budi Utama,.

    Dalam artikel tersebut D. Zawawi Imron menulis tentang peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang menurutnya pada masa itu yaitu 100 tahun yang lalu telah terjadi kesadaran kolektif masyarakat kita yang mungkin adalah kaum terpelajar dan intelektual untuk memberi harkat dan martabat kepada tanah air dan para penduduknya. Sebuah momen yang pantas dikenang oleh generasi bangsa kita saat ini.

    Setelah membaca artikel tersebut aku pun tergelitik untuk “curhat” dengan mengirimkan pesan pendek kepadanya.

    Aku merasa tidak dapat memaknai 100 Tahun Kebangkitan ketika melihat masih banyak kesusahan akibat mismanajemen pengelola bangsa”

    Bagaimana tidak, ketika menyimak tontonan peringatan 100 Tahun Kebangkitan yang di hadiri orang nomor satu negeri ini yang ditayangkan diseluruh stasiun televisi dengan menampilkan budaya khas dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, memori aku langsung menampilkan imaji yang digambarkan oleh M. Junus Melalatoa dalam kumpulan puisinya Luka Sebuah Negeri (Obor, 2006). Betapa aku merasa hambar melihat tari-tarian dan demontrasi-demontrasi gerak yang dibawakan oleh ratusan atau mungkin ribuan orang yang mewakili daerah-daerah / suku-suku bangsa kita. Aku seperti melihat sebuah senyum getir dan kebahagiaan semu seorang ibu, senyum dan keriangan yang dipaksakan sedangkan dibalik dada menyimpan nganga luka dan ibu itu adalah ibu pertiwi.

    Nganga luka yang diakibatkan oleh pembabatan hutan, eksploitasi sumber daya alam, korupsi, perebutan kekuasaan dengan berbagai cara, pengelolaan Negara yang tidak berorientasi untuk rakyat, eksploitasi tenaga kerja wanita, dan penyimpangan-penyimpangan yang membuat harkat dan martabat bangsa yang telah diawali kebangkitannya sejak 100 tahun yang lalu ditangan generasi kini seperti menjadi terkubur kembali. Belum lagi realitas sehari-hari yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat yang paling dasar (pokok) seperti antrian LPG, antrian minyak tanah, kenaikan BMM, dan melambungnya harga-harga kebutuhan hidup. Ah, benarkah kita telah bangkit? Atau memang dulu, dulu sekali, 100 tahun lalu kita memang pernah bangkit. Namun saat ini, ditangan generasi mutakhir yang lebih mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, golongan sendiri bukan memikirkan kepentingan seluruh rakyat, kita benarkah telah terperosok ke jurang dan tak mampu bangkit lagi?


    Nokia 1100-ku yang telah pudar huruf-huruf dan angka-angka di keypadnya pun bergetar dan aku buka pesan yang ternyata adalah balasan dari D. Zawawi Imron:

    “aku juga begitu. tapi kita tidak boleh putus asa untuk berjuang dengan akhlak mulia agar kita tidak termasuk orang yang menyetujui kerusakan”

    Aku sangat setuju dengan nasehat tersebut. Aku memang tidak memiliki kemampuan untuk mengubah semua itu. Hanya mengubah diriku sendirilah yang bisa aku perjuangkan untuk tidak ikut serta dalam membuat kerusakan. Ya, membuat kerusakan, sebuah profesi manusia di dunia protes malaikat kepada Tuhan ketika diawal penciptaan manusia pertama.

    Melihat realitas demi realitas yang terjadi dalam penyelenggaraan negara di negeri ini aku telah mengambil keputusan pribadi untuk tidak menggunakan hak memilih pemimpin dalam pemilihan-pemilihan yang digelar baik tingkat daerah maupun pusat sebagai bentuk ketidaksetujuanku terhadap proses kerusakan.

    Memang begitulah suara-suara untuk mengajak-ajak kepada kebaikan dan meningalkan ketidakbaikan yang merupakan ruh dari setiap tulisan-tulisan D. Zawawi Imron yang aku sukai dan berusaha untuk tidak melewatkan setiap tulisannya yang aku jumpai untuk aku baca sebagaimana dikatakan dalam pesan pendeknya:.

    “Jadi kalau saya menulis, tak lebih dari suara amar ma’ruf nahi munkar”

    Diakhir artikel tersebut merupakan cermin dari suara-suara itu yang mengajak kita bangkit untuk ber-"budi" dan ber-"daya". Karena tanpa budi dan daya, sebuah bangsa hanya akan jalan-jalan di tempat, dan tidak akan mampu membuat sejarah gemilang yang pantas dibanggakan oleh anak cucu, katanya.

Loading

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan