Langsung ke konten utama

Pramoedya Ananta Toer, Dibalik Sebuah Nama Besar



Pramoedya Ananta Toer
Dibalik Sebuah Nama Besar


"anak-anak urusan ibunya 100%. Aku tak mau turut campur. Itu urusan mereka!"
(Pramoedya Ananta Toer)


            Selain Pramoedya, menurut Eka Budianta, yang memiliki prinsip hidup bahwa anak-anak adalah urusan ibunya, dan mereka tak peduli pada anak-anaknya adalah W.S. Rendra, dan Jasso Winarto (novelis yang menjadi ekonom pasar saham). Jasso bahkan secara tegas menyatakan anak-anak bisa tumbuh tanpa ayah.

            Di balik nama besar Pramoedya Ananta Toer, dia bukanlah seorang bapak yang sukses. Anak-anaknya jauh dengan Pram dan segan bertemu dengan ayahnya. Pram kecewa karena anak-anaknya tak suka membaca.

            Dibalik ketenaran namanya sebagai seorang sastrawan dunia, kerja kerasnya yang membabi buta, ketekunan, dan keuletannya masih diperlukan seorang istri Pram, Maemunah Thamrin (istri kedua Pram, setelah bercerai dengan Arvah Iljas, yang mendampingi Pram sampai akhir hayat) untuk bekerja mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Pram hanya menerima uang beberapa kali dalam setahun. Sebuah ironi bukan? seorang dengan nama besar tak dapat merengkuh sisi lain yang dalam banyak anggapan orang barangkali hal itu sudah menjadi sebuah konsekuensi. Sudah otomatis. Nama besar dan financial besar. Namun nyatanya hal itu tidak liner. Sebuah ironi atau manusiawikah? Saya menjadi sedikit mengerti ketika membaca sebuah wawancara yang entah di media apa saya lupa (Matra?), Pramoedya berkata bahwa “ketenaran” adalah “kekosongan”. Saya waktu itu berpersepsi bahwa tak ada apa-apa dalam ketenaran dan nama besar barangkali ada derita di dalamnya, kehampaan. 

            Sebuah ironi lainnya sebagaimana dituturkan oleh Koesalah S. Toer, Pramoedya, yang dalam anggapan banyak pihak adalah seorang yang berhaluan kiri justru dapat mengangkat “ekonominya” ketika berada di sarang kapitalis. Pram mendapat undangan untuk menjadi pembicara di beberapa tempat di kampus-kampus  atau tempat lain di Amerika Serikat. Dari lawatannya itulah Pram mendapatkan fee yang cukup lumayan sehingga Pram bisa membangun sebuah rumah sesuai dengan angannya.. Rumah dengan luas pekarangan sehektar yang terletak di Bojong Gede, Bogor. Barangkali ironi merupakan bagian dari kehidupan setiap manusia yang harus dijalani dengan lapang hati.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun hanya sesekali, m

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink