Langsung ke konten utama

Ajip Rosidi: Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer



PERUBAHAN SIKAP
PRAMOEDYA ANANTA TOER
Oleh: Ajip Rosidi


PADA waktu Pramoedya Ananta Toer ditangkap tentara Belanda pada tahun 1947, di tangannya ada naskah roman yang hendak diserahkan kepada percetakan, yaitu bagian awal dari Kranji dan Bekasi Jatuh yang sudah terbit. Naskah itu dirampas dan tidak diketahui nasibnya bagaimana, sehingga roman itu tidak pernah terbit lengkap. Pram yang mulai menulis dalam majalah Sadar dan Mingguan Merdeka sejak 1947, lebih banyak menulis fiksi, walaupun dia juga kadang-kadang menulis laporan.



             Setelah dia keluar dari tahanan Belanda, untuk beberapa lama dia bekerja pada penerbit pemerintah Balai Pustaka. Mungkin karena dia berhasil memenangkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka beberapa waktu sebelumnya dengan roman yang ditulisnya dalam penjara berjudul Perburuan (1950). Waktu itu dia sudah terkenal karena banyak karyanya terutama berupa cerita pendek yang dimuat dalam majalah-majalah terkemuka seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Pudjangga Baru, Indonesia, Zenith, dan lain-lain. Dan buku-bukunya juga sudah banyak yang terbit. Dengan sendirinya dia disebut sebagai sasterawan angkatan baru yaitu Angkatan 45 dan mungkin dia juga digolongkan kepada kelompok seniman yang ketika itu mulai popular, yaitu kelompok Gelanggan Seniman Merdeka yang didirikan beberapa tahun sebelumnya oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Baharudin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dll. Tak ada catatan tentang kedekatan dan kegiatan Pram dengan kelompok tersebut. Tetapi sebagai orang yang tidak suka dengan organisasi, saya kira Pram tidak pernah aktif dalam Gelanggan Seniman Merdeka selain kadang-kadang tulisannya dimuat dalam “Gelanggang” yang merupakan lampiran kebudayaan warta sepekan Siasat. Namun tak ada hubungan apa pun antara Gelanggang Seniman Merdeka yang berupa organisasi (betapa pun longgarnya sebagai organisasi) dengan “Gelanggang” lampiran kebudayaan.

            Pada tahun 1952 Pram keluar dari Balai Pustaka. Tak catatan mengenai sebab-sebabnya. Tapi mungkin karena dia tidak merasa puas dengan gaji yang diperolehnya, maklum Balai Pustaka sebagai penerbit pemerintah niscaya memberikan gaji berdasarkan ijazah seseorang. Kita tahun bahwa Pram paling-paling mempunyai ijazah sekolah dasar.

            Kemungkinan lain ialah karena pada tahun 1950 dan 1951 banyak sekali buku Pram yang terbit, baik oleh Balai Pustaka (Perburuan), maupun oleh penerbit terkemuka lainnya seperti Pembangunan (Keluarga Gerilya dan Subuh), Pustaka Rakyat (Dia Yang Menyerah) dan Gapura (Percikan Revolusi), itu tahun 1950. Yang terbit tahun 1951: Balai Pustaka (Bukan Pasar Malam dan Mereka Yang Dilumpuhkan dua Jilid), dan Gapura (Di Tepi Kali Bekasi). Saya tidak tahu bagaimana cara penerbit-penerbit lain membayarkan honorariumnya, tetapi Balai Pustaka membayarkan honorarium 20% dari harga eceran secara tunai pada waktu buku cetakan pertama terbit. Dengan honorarium yang diperolehnya pada tahun 1950 dan 1951, wajarlah kalau Pram merasa bahwa dia akan dapat menghidupi keluarganyadengan hasil penanya itu. Maka dia merasa tidak perlu bekerja sebagai pegawai yang makan gaji tetapi harus pergi ke kantor saban hari. Dengan keluar dari pekerjaannya ia pun dapat mencurahkan diri sepenuhnya untuk menulis.

            Setelah keluar dari pekerjaannya, Pram mendirikan “Mimpar Penyiaran Duta” yang merupakan agen pertama bagi para penulis Indonesia. Para penulis yang mempercayakan penyiaran tulisannya kepada agen tersebut, tulisannya akan dikirimkan ke berbagai majalah dan surat kabar yang ada di seluruh Indonesia oleh agen tersebut, yang juga mengatur soal honorariumnya. Honorarium dari berbagai majalah dan surat kabar yang memuatnya dikirimkankepada penulisnya setelah dipotong komisi oleh agen.

            Secara teoritis mestinya honorarium yang dapat dikumpulkan jumlahnya lebih besar dari pada kalau hanya dimuat dalam satu tempat. Meskipun setiap majalah atau surat kabar yang memuatnya memberikan honorarium yang leibh kecil dari pada honorarium yang baiasa diberikan kepada karangan yang eksklusif, namun karangan dari Mimbar Penyiaran Duata umumnya dimuat hanya oleh satu majalah saja. Jarang ada majalah atau surat kabar memuatkan karangan yang sudah dimuat di tempat lain. Para penulis pun tidak banyak yang bersedia mengirimkan tulisannya melalui Mimbar Penyiaran Duta, sehingga karangan yang disiarkannya terutama hanya buah tangan Pramoedya Ananta Toer Saja.

            Sebagai orang yang memercayakan hidupnya hanya kepada ketrampilan menulis, Pramoedya terpaksa tidak hanya menulis fiksi, melainkan menulis hamper mengenai apa saja, walaupun masih terbatas tentang hal-hal yang bertalian degnan sastera dan kebudayaan. Menulis roman belum tentu ada penerbit yang mau menerbitkannya, karena adanya anggapan para penerbit bahwa karya sastera tidak dibeli orang. Karena itu dia menulis karangan-karangan pendek untuk dimuat dalam majalah atau surat kabar. Sebenarnya kehidupan penerbitan di Indonesia, ermasuk penerbitan majalah dan bku kian repot secara komersial karena rendahnya minat baca dan merosotnya kehidupan ekonomi bangsa, di samping alas an politis karena pemerintah mengawasi isi penerbitan-penerbitan itu, sehingga yang membawakan suara yang dianggap anti pemerintah dilarang terbit.

Situasi demikian menyebabkan rumah tangga Pramoedya Ananta Toer menghadapi krisis yang berkepanjangan, karena dia beserta isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah mertua di sebuah gang kecil dekat Kober, Tanah Abang. Kesulitan ekonomi rmah tangga itu terbersit dalam beberapa tulisan Pram pada waktu itu atau tulisan belakangan tentang waktu itu, missal dalam tulisan yang berjudul “Sunyi Senyap di Siang Hidup” (Majalah Indonesia, Juni 1956). Saya sendiri pernah didatangi Pram ke rumah, yang dengan suara parau dalam menyatakan bahwa dia sudah beberapa hari tidak makan.

            Berpalingnya Pram ke arah kiri, tidak dapat dipisahkan dari pada kesulitan hidup yang dihadapinya pada masa-masa tersebut. Savitri Scherer dalam disertasinya tentang perubahan sikap Pram ke kiri menelitinya berdasarkan tulisan-tulisan Pram sendiri, tetapi tidak dihubungkan dengan kesulitan hidup yang dialami oleh Pram. Hal ini yang dapat dimengerti, karena pada waktu penulisan disetasi itu Pram masih dalam tahanan di Pulau Buru atau sudah bebas tetapi tetap diawasi. Padahal situasi rumah tangganya pada waktu itu juga ikut menentukan langkah Pram ke kiri.

            Pada waktu-waktu itulah Pram didekati oleh A.S. Dharta yang saati itu menjadi sekretaris Jendral Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dharta memang salah seorang pendiri Lekra. Dalam tulisan yang dikumpulkan dan diterbitkannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Pram mengakui bahwa Dhartalah yang membukakan matanya terhadap kenyataan-kenyataan social dan akan pentingnya arti rakyat-juga dalam kesenian dan kesusasteraan. Pada waktu Pram sedang berada di puncak kesulitan hidup, Dharta memintanya menterjemahkan Ibunda karya Maksim Gorki untuk penerbit Lekra. Pesan menterjemahkan itu oleh Pram dianggap sebagai malaikat penolong yang menyelamatkan rumah tangganya. Sebelumnya Pram sudah banyak menterjemahkan antara lain untuk penerbit Kristen. Tetapi setelah dia dianggap kekiri-kirian, order menterjemahkan itu tak pernah ada lagi.

            Di samping itu Lekra juga mengatur agar Pram diundang untuk menghadiri peringatan hari wafatnya pengarang terkemuka Cina Hsun di Beijing, RRC, dilanjutkan dengan kunjungan keliling ke berbagai kota. Adanya uluran tangan untuk menterjemahkan Gorki pada saat-saat paling sulit dalam hidupnya, menyadarkan Pram bahwa organisasi Kirilah yang menolongnya pada saat dia menghadapi detik-detikyang menentukan. Ketika dia berkeliling di Cina, dia melihat bagaimana partai Kiri berusaha menyelamatkan rakyat yang selama ribuan tahun hidup dalam kesengsaraan. Dia juga melihat bahwa di negeri itu, para seniman dan terutama pengarang mendapat penghargaan yang tinggi dari Negara sehingga hidupnya memadai. Meskipun mungkin dia tidak menelan begitu saja propaganda yang disampaikan kepadanya, namun dia menyadari bahwa untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia haruslah ada tangan kekuasaan yang membimbing dan mengarahkannya. Sebagai perseorangan tak mungkin ia melakukan sesuatu yang berarti.

            Demikianlah dia melihat pidato Presiden Soekarna berupa konsepsi Presiden pada tangal 21 Februari 1957 sebagai jalan keluar yang paling baik untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia. Maka dia menulis karangan yang mendukung pidato Presiden itu, dimuat dalam surat kabar Harian Rakyat dan majalah Bintang Merah, surat kabar dan majalah resmi PKI. Dia juga menerahkan para seniman untuk menyatakan dukungannya kepada Konsepsi Presiden yang diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Sejak itu dia katif dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut politik. Dia diangkat oleh Kongres Nasional Lekra menjadi salah seorang pimpinannya. Tapi nampaknya lebih sebagai perlambang saja, karena Pram bukan orang yang suka aktif dalam organisasi. Dukungannya terhadap langkah-langkah politik Kiri lebih banyak disuarakan melalui tuisan dalam “Lentera”-ruangan kebudayaan dalam surat kabar Bintang Timur yang dipimpinnya. Surat kabar Bintang Timur sendiri berafiliasi kepada Partindo (Partai Indonesia), jadi bukan Kiri. Tulisan-tulisan menghantam kelompok “humanisme universal” yang dimuat dalam “Lentera” sering lebih keras dari pada tulisan-tulisan yang dimuat dalam Harian Rakyat atau Zaman Baru (majalah resmi Lekra).

            Usaha yang dilkaukan oleh Savitri Scherer untuk memahami langkah-langkah Pramoedya Ananta Toer yang menjadi Kiri patut dihargai karena dengan demikian kita akan dapat memahami lebih baik karya-karya yang ditulisnya. Mudah-mudahan akan diikuti oleh para peneliti lain menjejaki langkah-langkah sasterawan lain.


Pabelan, 30 November 2011


(Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi, Savitri Scherer)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun hanya sesekali, m

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink