Langsung ke konten utama

Interview: Pramoedya Ananta Toer, Pengalaman Besar dan Karya Besar



Pramoedya Ananta Toer:
“Pengalaman Besar dan Karya Besar”
Sebuah Wawancara Imajinasi

Oleh: Tarunala



PRAMOEDYA ANANTA TOER merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad. Demikian kritikus A. Teew pernah mengatakan pernyataan tersebut. Pramoedya sudah membuktikan keunggulannya melalui novel-novel yang dihasilkannya selama delapan puluh satu tahun hayatnya. Pramoedya pernah menjadi calon penerima Hadiah Nobel mulai tahun 1980-an, dan pada tahun 1986 hampir menerima hadiah yang bergendsi itu. Pramoedya adalah seorang novelis yang tidak hanya mewakili Indonesia, melainkan juga ia wujud sebagai seorang sastrawan yang dapat mewakili kawasan Asia.
Pramoedya Ananta Toer (PAT), sebagai seorang sastrawan besar, siapa yang tak ingin berbincang-bincang dengannya? Menurut Eka Budianta, Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang pembicara terbaik yang pernah dia kenal. Baik dalam komunikasi publik, maupun komunikasi berdua-dua, ceritanya selalu memesona. Beberapa novelnya, seperti Bumi Manusia, bahkan beredar secara lisan, sebelum dibukukan. Artinya, ia bercerita kepada seama tahanan, di malam hari. Demikian menarik cara dia menceritakan, orang mau mendengarnya berulang-ulang. Bukan hanya untuk diingat seumur hidup, tapi juga untuk diceritakan kepada orang lain, diteruskan pada generasi berikutnya. 
Dan sungguh saya, Tarunala (TN), sangat beruntung dapat melakukan sebuah wawancara yang entah kapan dan entah di mananya tak perlu saya sebutkan di sini. 

TN
:
“Apa kabar, Pak Pram?”



PAT
:
“Badan ini makin nggak keruan rasanya. Satu hari aku bisa delapan kali tidur. Tapi cuma sebentar-sebentar. Makan banyak. Minum banyak. Kenciing terus! Ini gejala sakit gula. Seperti ada yang tiba-tiba menarik ke atas, nyuuut! (sambil memegang pangkal hidung dan menariknya ke atas). Nggak tahu! Mau mati, kali. Ini karena nggak ada keseimbangan gerak fisik dan otak. Nggak ada sport!”

Barangkali adalah sebuah kewajaran bila dalam usia senjanya Pramoedya Ananta Toer mengalami sakit. Mungkin dia adalah sastrawan yang paling teraniaya di Indonesia pada abad 20. Barangkali bukan paling teraniaya. Penyair Amir Hamzah jelas lebih teraniaya. Ia dibunuh oleh rakyat yang sangat dicintainya., di kebun sendiri, dalam revolusi social di Sumatera Timur 1946. Tetapi Pramoedya, meskipun tidak dibunuh, selama bertahun-tahun hak hidupnya dirampas. Kepalanya dipukul popor senjata sampai telinganya tuli. Ia menjadi bagian yang paling sial dalam sejarah kebencian terhadap diri sendiri. Indonesia begitu pintar memuja diri sendiri, tapi juga begitu ahli dalam mempersulit hidup dan menyiksa sesamanya.

TN
:
“Pak Pram apa masih menulis, Pak?”



PAT
:
“Nggak bisa! Aku sudah pikun. Otakku nggak bisa lagi dipakai”



TN
:
“Menurut Pak Pram, buku yang bagus itu yang bagaimana?”



PAT
:
“Sebuah buku yang berkisah tentang daya upaya seseorang untuk keluar atau mengatasi kesulitannya akan selalu lebih menarik daripada yang bercerita tentang kesenangan. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita.”



TN
:
“Akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan para sastrawan dan para penikmat karya sastra di media sosial tentang upaya seseorang yang melakukan berbagai cara untuk ditahbiskan sebagai sastrawan yang paling berpengaruh. Bagaimana pendapat Pak Pram tentang hal tersebut?”



PAT
:
“Hanya orang pandir yang mengagumi diri sendiri. Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali semata: kebesarannya dibuat karena tiupan orang-orang mata duitan. Karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup."



TN
:
“Apa pendapat Pak Pram tentang ambisi seseorang yang ingin menjadi besar dalam bidang tertentu khususnya dalam sastra?



PAT

“Keinginan itu harus disadari, kalau tidak bisa jadi penyakit. Keinginan tak disadari memerintah tubuh dengan kejam. Tak mengenal ampun. Perasaan dan pikiran dikuasinya, diperintahnya. Kalau tidak disadari orang bertingkah laku seperti orang sakit. Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati.”



TN
:
“Dalam kaitannya dengan karya kepengarangan, adakah rencana Pak Pram ke depan?”



PAT
:
“Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang ingin saya punya. Apa yang ada di depan manusia hanya jarak, dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga – abadi. Di sana ufuk itu juga – abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan – jarak dan ufuk abadi itu.”

TN
:
“Bagaimana pendapat Pak Pram tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia? Ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan minat membaca dengan program duta baca dan menggratiskan pengiriman buku pada waktu tertentu.



PAT
:
“Tak ada cinta yang muncul mendadak karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit.”



TN
:
“Terakhir, Pak Pram, pesan-pesan untuk generasi saat ini?”



PAT
:
‘Sungguh merugi generasi yang sudah puas dengan banyaknya jejak-langkah sendiri di lorong-lorong kampungnya itu.”



  


Dikutip dari beberapa sumber:
 

1.    Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, Prof. Koh Young Hun.

2.    Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.

3.    Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer.

4.    Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Koesalah Soebagyo Toer

5.    Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi, Savitri Scherer

6.    Mendengar Pramoedya, Eka Budianta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun hanya sesekali, m

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink