Mereka Toh Tidak
Mungkin Menjaring Malaikat
Oleh: Danarto
source: internet |
Akulah
Jibril, malaikat yang telah membagi-bagikan wahyu kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Muhammad, Nabi Isa, dan nabi-nabi yang lain, yang kedatanganku
senantiasa ditandai dengan gemerisiknya angin di antara pepohonan atau padang
pasir.
Wahyu
adalah kalimat-kalimat yang berat, namun ringan jinjingannya. Itulah makanya telah
kunaikkan ia sebagai layang-layang yang senantiasa beredar tinggi, yang
sewaktu-waktu kupatukkan ke bawah, manakala kulihat ada anak yang sulit
berpikir, pada kepalanya, ya pada kepalanya, maka kagetlah ia sambil meraba
kepalanya, ia menengok-nengok ke atas, sehingga bisa menjawab soal-soal di
kelas nantinya.
Akulah
Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya
sedang mampat pikirannya, maka kutikkan layang-layangku seperti hendak menyerbu
layang-layang yang lain, tepat di tengah atap itu: brag-brag-kada-brag beberapa
genting aku perintahkan jatuh, tentu saja kubikin tidak mengenai mereka,
melainkan kepingan-kepingan itu biarlah jatuh di lantai saja. Mereka jadi
terkejut, semuanya menengok ke atas yang tanpa langit-langit itu, hingga lubang
yang menganga itu menghantarkan sinar matahari ke dalam. Setelah itu kukirimkan
hujan khusus lewat lubang atap itu. Mereka bubar keluar.
Di
halaman sekolah guru dan murid-murid itu terheran-heran memandang langit.
Bagaimana mungkin ada hujan setempat yang begitu kecil, demikian mereka saling
berkata, yang semuanya kusambut dengan tersenyum saja. Yang menyenangkan adalah
pikiran guru dan murid-murid itu menjadi segar dan kemudian mereka ramai-ramai
belajar di sebuah bukit yang rimbun di seberang halaman sekolah. Sebenarnya
itulah yang ku kehendaki. Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah
padang rumput yang luas itu bukan kelas?
Ketika
tukang kebun yang diberi tahu untuk
mengganti genting yang pecah itu datang ke dalam kelas, ia hanya tertegun:
“Mana genting yang pecah yang harus kuganti? Mana lantai yang kotor yang harus
kusapu?” begitu gerutunya. Tentu saja ia bergumam terus, sebab tidak ada
sesuatu pun yang tidak beres di dalam kelas itu. Segalanya baik-baik saja,
sebab ketika mereka berbondong-bondong ke bukit, buru-buru aku ganti genting
yang pecah itu dan aku sapu lantai yang kotor oleh kepingan-kepingan itu.
Ketika
mereka kembali ke kals mau berkemas-kemas pulang, mereka juga melihat-lihat
sekelilingnya dan tentu saja mereka mengira tukang kebun yang mengerjakanannya.
Guru itu menghampiri tukang kebun:
“Cepat
juga Bapak bekerja”
“Alah
bisa karena biasa.” Begitu jawab tukang kebun yang suka berpantun dan
berperibahasa itu, sebuah jawaban sambil lalu, hanya untuk mempercepat pembicaraan,
meskipun di sela-sela ucapannya itu adalah bundelan keheranan yang makin
bertambah-tambah saja. Bagi saya tentu
saja itu sebuah jawaban yang bagus; maka kubisikkan ke telinganya:
“Itu
jawaban yang bagus, Pak,” yang membuat ia terkejut dan menengok ke sekeliling
mencari siapa gerangan yang bersuara Cuma, rupa tidak ada. Tukang kebun itu
buru-buru menghindar.
Akulah
Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku, yanga sap adalah aku,
yang gemerisik adalah aku, yang menghantarkan panas dan dingin. Aku mengirimkan
kesejukan, pikiran segar, yang mengajak giat belajar. Akulah yang menyodorkan
keharanan dan sekaligus jawaban. Aku di kebun rimbun, aku di padang pasir, aku
di laut, aku di gunung, aku di udara, kukirimkan layang-layangku kepadamu, kepada
kalian. Di waktukalian giat belajar, sebenarnya aku di sisimu., benar-benar di
sisimu, sekarang ini juga. Akulah yang mengelus lidah anak-anak kelas nol
besar, supaya tidak kelu waktu membaca dan menyanyi.
Akulah
Jibril, yang pada suatu malam mendatangi tukang kebun itu dalam mimpi.
Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin bermain dengan anak-anak semuanya. Ketika
ia bangun kira-kira jam tiga malam, ia termangu-mangu duduk di tempat tidur.
Istrinya acuh tak acuh melihat dia, sambil menggeliat membalikkan tubuhnya
tidur lagi. Sementara tiga anaknya lelap sekali.
Pagi
hari ia menemui guru sekolah dan mengatakan bahwa Jibrillah yang memecahkan
genting kemarin dan menggantinya sendiri. Guru itu mengira tukang kebun ini
sedang mengigau.
Lalu
siang hari ia pergi ke bukit, membikin jarring dari sabut kelapa yang
dipilinnya kecil-kecil merupakan tali-tali panjang. Tentu saja aku diam-diam
membantunya, yaitu mencarikan sabut kelapa di sana-sini. Selama satu minggu
siang malam jaring itu dikerjakannya. Sebagai imbalannya, tanaman ubi dan
singkongnya kutiup menjadi besar-besar. Pada hari kedelapan dipasangnyalah
jaring itu di bukit. Ketika guru dan murid-muring yang telah membiasakan
belajar di alam terbuka melihat tukang kebun itu bekerja sendirian semuanya
mendekat.
“Jaring
ini untuk apa, Pak?”
“Untuk
menjaring malaikat.”
“Malaikat?”
“Ya,
malaikat.”
“Benar?”
“Benar.”
“Boleh
kami bantuk, Pak?”
“Boleh,
boleh, tentu saja. Malah setelah itu kalian saya ajak menunggu jaring ini.”
“Jangan
berlebihan, Pak.”
“Bicaraku
tidak melebih-lebihkan. Apa adanya saja. Jika kalian percaya silahkan. Tak
percaya, silahkan. Aku akan ajak kalian hari ini untuk bersenang-senang.”
“Jika
Jibril tertangkap, apakah ia tak mampu melepaskan diri, sedangkan ia seorang
malaikat?
“Tidak
mungkin. Karena sayapnya akan kurenggut.”
“Jadi
dia punya sayap?”
“Semua
malaikat mempunyai sayap.”
Guru itu Cuma tersenyum saja: “Bapak
sedang mimpi,” katanya lirih dan yang dijawab oleh tukang kebun itu: “Ini
nyata.”
Setelah sekolah selesai, semua
anak-anak ternyata punya minat terhadap usaha menjaring malaikat itu. Hanya
guru itu saja yang terus pulang. Lalu mereka mengendap melingkari jaring itu.
Akulah Jibril yang Angin, seketika
terpancang jaring itu kuat-kuat, aku terus menubruknya. Tersangkutlah aku di
dalamnya. Sayapku juga terjerat kukuh. Maka bergenteyonganlah aku, seperti
sedang main ayun-ayunan. Mula-mula anak-anak itu terbengong-bengong menatapku,
seperti menatap burung dalam sangkar. Yang membuatku merasa aneh adalah mereka
tidak takut kepadaku. Kini aku telah benar-benar ngejawantah.
Tiba-tiba bersoraklah anak-anak itu
mengelilingiku. Mereka bernyanyi beramai-ramai:
Wahai
Jibril
Yang
suka nubruk-nubruk.
Anda
kemarin memecahkan genting kelas kami.
Sekarang
Anda terjaring.
Cobalah
lari.
Cobalah
lari.
Begitu kalimat nyanyiannya dan
diulang-ulangnya terus.
Akulah Jibril, yang kemudian merasa
gelid an heran. Mereka begitu saja bisa menciptakan nyanyian baru. Juga mereka
memanggilku “Anda”, kenapa tidak ber-“engkau” saja. Aku menjawab nyanyian mereka
dengan nyanyian yang kuciptakan secara tiba-tiba juga:
Wahai
kamu
Kamu
toh tak mungkin
Menjaring
malaikat.
Wahai
kamu
Kamu
toh tak mungkin
Menjaring
angin.
Akulah
Jibril
Akulah
angin
Mereka kemudian bergandengan dan
tetap melingkariku terus. Nyanyi mereka tambah keras.
Silakah
lari
Silakan
lari
Aku
pun menjawab
Jika
jaring kukais
Kalian
pasti menangis
Mereka
pun menjawab:
Silakan
kais
Silakan
kais
…dan mereka pun terbahak-bahak
melirikku.
Tukang kebun itu berteriak: “Tak
kukira mimpi jadi nyata.” Ia pun ikut menari-nari.
Akulah Jibril, yang saat ini
merasakan kegembiraan. Bermain dengan anak-anak memang jarang. Biasanya tugasku
berat saja adanya. Tetapi akulah angin yang harus beredar terus, ke seluruh
bumi, ke semua tempat-tempat yang lapang, juga tempat-tempat tersembunyi.
Sementara mereka menari dan menyanyi
terus, ku tinggalkan mereka, dan kuganti
tubuhku dengan seonggok daun pisang kering. Sebelum benar-benar pergi aku ingin
melihat mereka kaget. Setelah mereka melihat jaring itu kembali dan isi di
dalamnya yang sebenarnya, mereka melongo dan satu-satu menangis.
Aku tersenyum pergi.
Akulah Jibril, akulah angin, akulah
daun-daun kering, tak mungkin kutinggalkan mereka, anak-anak manis, begitu saja
tanpa member apa-apa sebagai tanda kasih saying.
Esok harinya seluruh sekolah itu tercengang,
ketika mereka melihat layang-layang yang kukaitkan semalam di atap tinggi
dengan benang panjang sekali. Siapa saja boleh membiarkan layang-layang itu
sepanjang masa terkait di situ atau mengambilnya menjadi miliknya. Terserah.
Jakarta,
11 Maret 1975
Komentar
Posting Komentar