Sore Ini, Sepedaku Menabrak Dinding
Oleh: Mardi Luhung
Sore
ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan
menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku
kayuh. Melewati koral, terumbu, dan karang. Sekian duyung yang montok melambai.
Dan sekian mambang yang melayang. Melayang dengan siripnya. Pun menggerakkan
cahayanya. Cahaya yang warna-warni. Seperti warna-warninya pelangi yang pernah
aku kirimkan ke lembah-lembah tempat kau berada. Mungkin kata mereka: “Pengelana
itu telah sampai kemari. Lihatlah gayanya. Lihatlah lagaknya. Adakah yang
menyamainya dalam lekuk?
Dan perkataan mereka ini masuk ke
kupingku. Seperti masuknya sepur kelenci. Sepur kelinci di taman kampong. Sepur
kelinci yang panjang dan berkelokan. Yang bunyinya tut-tut-tut. Dan sekian
kanak yang menumpangnya pun melambai-lambaikan tangannya. Melambai pada siapa?
Pada awan. Pada jalan. Atau pada yang tak tampak oleh pandanganku. Tapi begitu
nyata oleh pandangan sekian kanak itu. Pandangannya yang kerap membuat bulu
roma berdiri. Ketika sekian kanak itu berkat:
“Ayah, lihat itu Eliza, masuk ke
kamar lewat genting.”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air
matanya terbang kayak laron.”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya
taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil.”
“Ayah, lihat, lihatlah……..”
Tapi aku terus mengayuh sepedak.
Kedalaman laut terasa begitu hijau. Sehijau hutan illangyang pernah aku
hidupkan di pikiran. Hutan ilalang tempat aku pernah menemui si perempuan yang
telah menggunting rambut panjangnya. Dan membasuhkan guntingan rambut itu ke lambung
yang berdarah. Lambung yang berdarah. Lambung yang kata si perempuan,
mengingatkan pada lambung si tukang kayu yang tergila-gila pada bapak. Bapak
yang ada I entah. Bapak yang entah siapa.
Dan bapak yang telah pergi tepat si
tukang kayu lahir. Dan bapak yang sampai kini tak kenal bentuk rupanya. Apakah
segitiga, lonjong, bundar atau kelimis, kasar, dan gundul. Dan bapak, yang
apakah sempat member nama padanya atau tidak. Mengelus kepalanya atau tidak. Lalu
berbisik: “Anakku, jadilah orang yang baik. Dan jika besar, jadilah orang besar
yang budiman. Yang tak suka berbohong. Sebab, ingat, hidup sudah susah. Apa
matimu juga meski susah,”
“Anakku, ingat juga, jika matimu
sampai susah, itu artinya, kau tak disuka sorga. Sorga yang punya pohon
terbalik. Akar di atas. Buah di bawah. Pohon apa saja. Buah apa saja. Asalkan
bukan pohon dan buah yang satu itu.Yang telah membuat kita seperti ini.
Mengembara untuk sekedar putar-putar. Untuk sekedar akhirnya kembali mati juga.
Mati dikubur dalam tanah. Dengan upacara atau pembelaan. Dengan tangis atau
tawa. Dan dengan meninggalkan luka atau suka. Anakku, ingatlah perkataan bapak
ini.”
Dan bye, bapak pun melesat pergi
lewat pintu belakang. Dan hilang tak berjejak. Ya, ya, kasihan, kasihan sekali
si tukang kayu. Yang samapi kini tak tahu rupa bapaknya. Dan sampai kini, juga
belum punya anam. Lalu, tiba-tiba: “Pengelana, berhentilah sejenak,” Ada si
belut memanggilku. Suaranya cempreng tapi renyah. Si belut itu tak begitu
besar. Dan persis di punggungnya, ada semacam kulit yang tembus pandang. Dan
ari dalam kulit itu, aku melihat sebentuk mulut yang tergolek. Dua gigi di
mulut itu copot. Dan di bagian atasnyla ada bekas jahitan. “Tolong, ambillah
mulut ini,” pinta si belut. Mulut itu adalah milik si tukang cerita. Yang dulu
dirajam oleh kegelapan. Sebab selau ngotot ingin memasang obor. Obor yang
benderang.
Konon, menurut cerita, obor itu
milik para dewa. Para dewa yang bersemayam di langit. Dan obor itu dicuri oleh
satu dewa yang murtad. Dewa yang punya kelakuan mirip sirip hitu. Berkelepak ke
sana ke mari. Agar ada yang terentuh. Dan tergenggam. Seperti bola bekel yang
tergenggam. Dan tak lagi bisa melenting. Dan karena obor yang dicuri itu, maka
dunia manusia pun menjadi terang dan gelap. Baik dan buruk. PIntar dan bodoh,
Dan itu membuat manusia paham. Paham untuk memerdekakan dirinya. Jadinya,
lambat-laun pun tak lagi butuh para dewa.
Apakah aku percaya pada cerita ini?
Bisa ya, bisa atidak. Sebab, aku melihat dunia kini memang sudah seperti
selang-seling. Zik-zak. Dan tak jelas arahnya. Seperti ke kanan. Tapi justru ke
kiri. Karenanya tak salah. Jika ada yang berpesan: “Bagi yang beriman, dunia
adalah kebohongan. Bagi yang tak beriman adalah petak umpet yang mengasyikkan.
Seperti petak umpet sumur bor yang tiba-tiba mengeluarkan lumpur. Padalah, yang
diburu bukan lumpur. Kasihan. Kasihan sekali. He, he, he. Aku pun tertawa geli,”
Dan di saat ketawa itu, datanglah
dari arah lain si gurita gemuk. Si gurita gemuk yang berkata begini: “Juga
tolong, bawakan pakaian ini,” dan si gurita ini punya empat mata. Seperti mata
tajam yang pernah aku lihat di sebuah gambar. Yang berpesan tentang mata gunung
yang akan meledak. Dengan kalimat: “Jika memang meledak, adalah tempat yang
aman?” dan lewat tatapan yang sekilat, aku merasa jika pakaian yang
dimaksud si gurita adalah seragam hitam.
Seragam hitam dengan pernak-pernik bersilangan: “Seragam kapten!”
Seragam si kapten? Ya, memang ada
cerita tentang angker tentang si kapten dalam kapal angker yang penuh lumut.
Kapal angker yang melayang semeter di permukaan. Kapal angker yang tak
bertentuk. Dan yang selalu mengeluarkan irama murung yang mengenaskan. Irama
tentang pemenggalan dan penyaliban. Kelasi yang jika haus, langsung menumpahkan
sebaskom arak ke tenggorokan. Yang sebagian besar menciprat ke tubuh gempalnya.
Kemudian, mereka akan berkelahi sendiri. Bertempur sendiri. Sampai semuanya
mati. Sampai semuanya menjadi bangkai. Untuk kemudian dihidupkan kembali pada
waktu pelayaran berikutnya.
Pelayaran yang mendebarkan. Dengan
ombak-ombak bergulatan. Dengan kegelapan yang bertaburan api. Dan langit, ya
langit terbuka. Seperti tempurung kepala yang dikelupas oleh tenaga yang besar.
Sampai-sampai setiap yang melihatnya, seperti melihat lorong yang tinggi dan
gaib. Yang kata para orang suci, tempat masuk-keluarnya catatan bagi manusia.
Catatan baik akan menempel di telapak kanan. Yang buruk di telapak kiri. Dan
catatan-catatan itu akan ditembaki si kapten. Agar jatuh dan tenggelam ke laut.
Dan agar yang berhak atasnya merasa kebingunan. Hilang arah. Dan menceburkan
dirinya ke teluk. Lalu diangkat oleh si kapten. Menjadi kelasi barunya. Kelasi
yang tak berkepala itu. Dan seumur-umurnya, kelasi yang tak berkepala itu tak
akan pernah bisa pergi dari kapal angker.
Itulah, itulah cerita tentang kapal
angker. Dan jika kau ingin tahu tentang kapal angker ini, bukalah jendela
rumahmu di malam hari. Tengoklah ke langit sebelah timur. Ke sebelah selatan
bintang yang mirip parang panjang. Parang yang lancip. Yang di pinggirnya ada
percik-percik yang berkedap-kedip. Itulah bintang penentu jejak kapal angker.
Jejak penentu yang selalu muncul, ketika angin tak bertiup. Dan orang-orang
yang telah mati menyembul dari tanah. Seperti uap dan kabut kuning. Uap dan
kabut kuning yang kerap membentuk bentuk-bentuk yang tak pernah kalian
pikirkan.
Bentuk-bentuk yang selalu muncul dan
berganti tanpa terkendali. Dan bentuk-bentuk itu akan mengikuti ke mana kau
pergi. Ke mana kau melangkah. Apakah ke beranda. Ke dapur. Ke kamar kecil. Dan
bentuk-bentuk itu selalu mengendusi kudukmu. Jadinya, bulu-bulu di kudukmu akan
berdiri. Menegak. Seperti tegaknya barisan sungut serangga ketika mengangkat
beban makanannnya. Untuk dimasukkan ke dalam lubangnya. Lubang yang
dipermukaannya begitu terang. Tapi ketika lebih masuk, akan menjadi keremangan.
Yang membuat siapa saja Cuma bisa meraba-raba. Sambil berharap, aka nada secercah
cahaya yang membimbing.
Dan yang perlu kau ketahui juga,
bentuk-bentuk itulah yang membuat setiap pelaut akan meminggirkan kapalnya.
Bersembunyi dan minum tuak di warung-warung. Pelaut yang punya codet pipi yang
biru. Sebiru ketenggelama yang ada di dalam mimpi setiap pelupa. Setiap yang
selalu memanggil dirinya dengan sebutan: “Siapa aku?” Ya, ya, ya, pelaut itu
jika mabuk selalu menyebut, siapa aku? Padahal, siapa pun tahu, Jika pelaut itu
orang pintar. Cerdas, berwibawa dan nekadan. Dan punya pikiran yang tak lekang
karena umur. Seperti ketidaklekangan racauannya ini:
“Akulah pelaut. Pelaut garang. Yang
tak takut pada ombak dan karang. Akulah pelaut. Yang selalu melawan arah angin
dan cuaca dengan dada terbuka. Dada yang jika kau lihat, akan terpacak sebuah
goresan. Goresan yang mirip peta. Peta bagi siapa saja yang merasa tak pernah
berhenti. Apalagi menambatkan umurnya pada apa yang disebut rumah yang
sederhana dengan istri yang cerewet. Akulah, akulah pelaut. Pelaut yang tak
bisa berahasia. Kecuali dengan pisau lipat yang terhunus.”
“Akulah pelaut. Ayo kemari.
Menghadap pelaut. Menghadap dengan pasrah atau tidak. Dan mari peluk aku. Kita
akan minum dan mabuk. Biar dunia semua juga tertidur. Dan kita tetap terjaga.
Sambil bermain domino. Atau bertaruh dengan taruhan apa pun. Juga bisa, dengan
tidak apa pun. Pokoknya kita mabuk. Dan melupakan sejenak, apa itu yang disebut
orbit dan daya tarik yang membuat semuanya bersinambungan. Seperti sekumpulan
keseharian yang tak berubah. Mari, marilah kemari, mendekat pelaut.”
Gila! Aku piker, ini racauan yang
kacau. Dan daripada semakin kacau. Aku tak menggubrisnya. Aku kayuh saja
sepedaku. Tak menoleh pada semuanya. Dalam pandanganku, kedalaman laut ini
makin dan makin terasa begitu hijau. Dan aku tak tahu lagi, apakah aku maju
atau mundur. Yang aku tahu, aku hanya ingin bertemu dinding yang telah ditabrik sepedaku tadi. Untuk
segera menyembul ke tempat semula. Tempat yang penuh dengan kegairahan yang
beigut tak terkira. Tempat yang membuat aku selalu memompa nafasku dengan
sedalam-dalamanya. Seperti nafat setiap burung yang berkelepak. Berkelepak
untuk mencari sarang lamanya. Sarangmu.
Sarang yang begitu telah membuat
diriku percaya, jika di setiap aku sampai pada batas. Dan sepeda aku sandarkan.
Selalu ada sebentuk sumur yang kau sediakan untuk aku minum. Sumur yang selalu
tampak di kegelapan. Seperti cahaya setiap pernik yang tak pernah bisa
dilalaikan. Dan yang selalu kau simpan di sekujur lipatan jantungmu. Yang
ketika berdetak, tak bosan-bosan untuk berbisik: “Pengelana, lekaslah pulang.
Sebelum rembulan muncul. Dan orang-orang kotor itu, membesetnya pelan-pelan….”
Akh, kembali lagi, aku mendengar
sekian kanak berkata:
“Ayah, lihat itu Eliza masuk kamar
lewat genting.”
“Ayah, lihat itu Eliza menangis. Air
matanya terbang kayak laron.”
“Ayah, Ayah, lihat itu Eliza. Punya
taring mungil. Tanduk mungil. Sayap mungil.”
“Ayah, lihatlah, lihatlah….”
Sumber Tulisan:
Aku Jatuh Cinta lagi pada Istriku, Komodo Books, Cet. Pertama Februari 2011
Sumber Tulisan:
Aku Jatuh Cinta lagi pada Istriku, Komodo Books, Cet. Pertama Februari 2011
Komentar
Posting Komentar