Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
Oleh:
Umar Kayam
Mereka duduk
bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas
martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu,
bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan
mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung.
Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilanglah ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es
dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di sampaing Jane. Kepalanya
sudah terasa tidak berapa enak.
“Marno, sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah
di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu
bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan
salju, salju, dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo
bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang
aku mendengar perumpamanan yang begitu puitis. Rumah Eskimo seperti es krim
panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kau tahu…Eh,
maukah kau membikinkan aku segelas… ah, kau tidak pernah bisa bikin martini.
Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini… Uuuuup…”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati
berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, Jane mencoba berbicara lagi.
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu… Marno, Darling.”
“Yaaa, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke Sofa, kali ini
duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi minggu yang lalu kau bilang dia ada di Texas atau
di Kansas. Atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang. Aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar
knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran
suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara
orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk
kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri
kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat
istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru
antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku
harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan
kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan
belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno
ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan!
Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan
Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anah yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat
jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan
menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya.
Dilongokkannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur
di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan
itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa
merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya,
Jane.”
“Aku
ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma
City beberapa tahun lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku
kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane
menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri
tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini yang dipegangnya itu.
Lagi
pula tidak seorang pun memedulikannya.
“Eh,
kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire
State Building sudah dijual.”
“Ya,
aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah
kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak.
Bisakah kau?”
“Bisa,
bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan
pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit
yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang
suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja….”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik aku lebih senang
sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras
sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch
yang membuat itu.”
“Tidak, sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi
yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas
bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari
kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka keran air. Kemudian
dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan,
tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi: deep blue sea, baby, deep blue sea, deep
blue sea, baby, deep blue sea….
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim
panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm
sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dank au bisa memandang badanmu
yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang
panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue sea, deep
blue sea, baby, deep blue sea….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan
tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang
kerja. Tommy bilang simpanse adalah kera yang
paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa
sarjana-sarjana sudah membuat penyeledikan yang mendalam tentang hal itu,
tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami
mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal
ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku
membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawabkarena tiba-tiba saja dia merasa
seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah
penjelasannya bagaimana satu bayangan yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa
muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan
mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau
dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang
beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya
dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang
bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau
dan aku yang punya. Apakah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi
capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus
berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus
telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba
dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ?”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu
kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah
lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar nohtah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada seribu kunang-kunang hinggap di
pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya
terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke
mana.
“Marno, waktu kau kecil … Marno, kau mendengarkan aku,
kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkan kau punya mainan
kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau
pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak
besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu
adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku
tidak akan pernah bisa tidur bula Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga
begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku
ketemu Tommy di High school. Aku kira, aku inging Uncle Tom ada di dekat-dekatku
lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian
digosok-gosokkannya pipinya pada bantl itu. Lalu tiab-tiba dilemparkannya lagi
bantal itu ke sofa dan dia memandang kepada Marno yang masih bersandar di
jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kau dengar, bukan?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa
menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum.
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum.
Mengapa?”
Marno tersenyum.
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“ Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus
berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu
medium large, kan? Tunggu, ya…..”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali
kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam
kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali
dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kau suka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibebrkannya piyama itu di
dadanya.
“Kau suka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah
cukup malam untuk berganti piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan
keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini mala
mini.”
“Oh? Kau banyak bekerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah….”
“Kau merasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku…eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya
lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Aku bungkus saja piyamamu!”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya
pulang.”
“Oh.”
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu
dibawanya masuk ke dalam kamarnnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari
kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelepon aku hari-hari ini, kan?”
“Tentu, Jane.”
“Kapan aku bisa mengharapkan itu?”
“Eh, aku belum tahu lagi, jane. Segera aku kira.”
“Kau tahu nomorku kan? Eldorado?”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi
itu terbuat dari porselen. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya
terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir
obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Sumber tulisan:
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Pustaka Utama Grafiti, Cet. VIII, 2012
Sumber tulisan:
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Pustaka Utama Grafiti, Cet. VIII, 2012
Komentar
Posting Komentar