Langsung ke konten utama

Dunia Baik-Baik Saja

(Wonderful Danilla Riyadi)

Selepas waktu maghrib aku mengeluarkan motorku yang mungkin sudah "seratus tahun" parkir di ruang tamu karena beberapa kesempatan setiap akan jalan-jalan keluar selalu didahului oleh hujan. Hujan yang seolah diturunkan Tuhan saat-saat aku memiliki niat untuk jalan-jalan keluar untuk suatu keperluan dengan motor yang sudah delapan tahun menemaniku bepergian itu. Aku mungkin akan merasa bahagia bila suatu saat aku sudah tidak merasa kesal lagi kepada hujan yang kerap merampas waktu bepergianku.


Sambil memanasi mesin, aku kebas jaket hitam yang pudar warnanya, seperti berubah menjadi abu-abu, setelah mengambilnya  dari hanger yang  tercantol pada paku di dinding papan jati yang setua buyutku seandainya beliau masih ada. Aku masukkan kepalaku ke helm setelah memakai jaket hitam yang mungkin sudah "setengah abad" belum aku cuci tersebut. Sepertinya semua sudah pada tempatnya. Tak ada yang tertinggal. Tak ada rasa yang mengganjal di benak. 


Aku pun melaju, menelusuri jalanan yang terkadang gelap dan terkadang terang oleh cahaya lampu jalan. Tak ada rasa khawatir tentang segala sesuatu dalam benakku. Dunia sepertinya baik-baik saja. Angin dingin musim penghujan tetap menghembusi tubuhku, menembus #respiro yang aku kenakan. Semua terasa baik-baik saja sampai pada suatu tempat yang agak gelap baru teringat olehku,


"Oh, seharusnya aku memakai masker. Bukankah dunia sedang menghadapi pandemi." kata batinku.


"Ya tuhan, bagaimana aku bisa lupa memakai masker hari ini, padahal ke tempat yang lebih dekat saja aku biasanya tak pernah lupa, selalu memakainya," kataku pada diri sendiri.


Terlanjur jalan, hati berkata pingin balik kanan pulang untuk mengambil masker yang ketinggalan, tapi tangan tetap nge-gas saja. Tiba-tiba benak mulai berkecamuk, hati agak deg-degan (bukan sejenis deg-degan saat ngobrol denganmu 😄). 


"Jangan-jangan pas ada pemeriksaan oleh fungsi terkait di kota." batinku lagi. 

Imajinasi pun mulai kemana-mana mulai dari denda, dompet yang merana 😀, push-up, sit-up, dan sederet kecamuk argumentasi untuk menghindar dari "kelupaan".


Untung saja hanya ada dua belokan saja untuk menuju ke tempat yang aku tuju. Setelah belok kiri lalu belok kanan atau sebaliknya. 😀. Rasa tenang kembali hadir dalam hati saat sudah melewati sudut-sudut kota yang aku pikir merupakan lokasi strategis untuk dijadikan pos pemeriksaan.  


Sebelum belok kanan lagi saat melewati jalan lurus dan lebar namun banyak berlubang, masih sempat-sempatnya juga mata ini memandang sebuah neon box di depan sebuah kedai yang bertuliskan "kopimu".


Setelah membaca neon box dengan tulisan warna hijau background putih itu, aku merasa sepertinya dunia tetap baik-baik saja meski dilanda pandemi #COVID19. 


Dunia tetap baik-baik saja karena tadi siang matahari tetap bersinar. Bulan dan bintang tetap menampakkan diri. Politisi tetap berbohong dan berjanji palsu. Para pemodal tetap mengeruk sumber daya alam negeri kita. Para selebgram tetap tampil seksih. #anyageraldine tetap disayang banyak orang. #arielnoah tetap dipuja setiap perempuan. ketawanya cici #danillariyadi tetap bikin kangen para #penelisik. twitt, video dan atau medsos para alim ulama masih dilike ribuan jempol. Ya...benar, dunia benar-benar tetap baik-baik saja.


Dan justru aku yang merasa tidak baik-baik saja karena ternyata sesorean tadi belum nyeruput sedikitpun kopi hitam.


#prayforcovidaway

#ocehan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...