Di Abad 21, Menjadi Sastrawan Sangatlah Menyakitkan

DI ABAD 21, MENJADI SASTRAWAN SANGATLAH MENYAKITKAN

oleh: Kanta Kastiri (Merah Naga)


Kanta Kastiri (Merah Naga)


Keputusanku meninggalkan sastra Indonesia adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah aku alami selama aku hidup. Tak lagi banyak peduli. Tak lagi ikut diskusi-diskusinya. Tak lagi membaca buku-buku sastra. Dan nyaris abai total terhadap sastra Indonesia dan dunia, membuatku jauh lebih tenang dan bisa fokus ke arah lainnya. 


Sastra, tidak hanya membuat beberapa

sastrawan menjadi miskin dan terlihat layaknya orang yang putus asa terhadap masa depan dirinya sendiri. Tapi juga, merusak kesehatan jiwa seseorang. 


Itu terlihat, di beberapa orang yang menulis sastra, yang diakui sebagai sastrawan dan yang mengaku dirinya sendiri, sebagai sastrawan, yang beberapa di antaranya aku kenal. 


Bahkan, beberapa orang yang aku tahu, malah tak menunjukkan peningkatan kualitas hidup sama sekali. Kian bertambah tua, masa depan menyedihkan menatap para sastrawan yang harus rela, melihat kawan-kawannya menjadi jauh lebih sukses dalam karir, membangun banyak usaha, secara finansial lebih makmur, emosi dan kejiwaan menjadi lebih terkendali, dan lebih berbahagia. 


Sementara itu, para sastrawan yang sudah mulai menua ini, masih terlibat dalam perdebatan yang sudah aku tingggalkan sejak aku membakar buku-buku sastra. Perdebatan yang entah kapan akan berakhir dan menjadi era kekonyolan yang masih dipertahankan. 


Mengenai penjiplakan karya. Saling serang sana dan sini. Dan sekian banyak kasus lainnya yang menjadi sensasi tapi bukan pelajaran bersama. 


Beberapa orang yang sudah sadar, akhirnya memilih mundur sejenak atau mundur total. 


Mundur sejenak untuk mengatasi ketertinggalan ekonomi, emosi, dan kebijaksanaan. Sambil sesekali menulis kolom esai. Sesekali menerbitkan buku. Lalu kembali diam. Tak peduli dengan hiruk pikuk kesusastraan yang sangat beracun. 


Mencoba menjalani hidup yang lebih tenang. Menjadi lebih makmur. Dan lebih berbahagia. 


Sisa lainnya, terjerumus dalam kubangan sastra yang semakin dalam. Bersama dengan kumpulan orang-orang yang senasib. 


Orang-orang ini, semakin tua, semakin kuyu, semakin tak terawat, wajahnya menyimpan kesedihan dan kekhawatiran mengenai masa depan. Juga, secara emosional kian rapuh, mudah marah, yang bisa dilakukannya untuk mengatasi kenyataan hidup adalah dengan mengkritik banyak hal sebagai terapi. 


Entah mengumpat secara politik. Mengomentari para artis. Mengkritik tulisan ini dan itu. Dan apa pun, akan menjadi kritikan dan ketidakpuasan dalam status-status media sosialnya. 


Semakin menua, masa depan semakin menyeramkan. Tapi anehnya, mereka malah masuk makin dalam ke dalam kubangan yang kotor. Tidak keluar. Tak berusaha beralih. Tapi malah nyaman di dalamnya. Sampai suatu ketika, ia mati dalam kemiskinan atau perjuangan hidup yang tak mudah. 


Kita hidup di Indonesia. Hanya sekedar menjadi sastrawan, akan benar-benar sangat menyakitkan. 


Terlebih saat kawan yang dikenal sudah mulai makmur. Membeli rumah. Kendaraan. Memiliki usaha. Jalan ke sana kemari. Bisa memuaskan hobinya. Dan mendapatkan pasangan yang cocok dan hidupnya terlihat bahagia. 


Apalagi orang yang pernah dibenci, dicaci, dianggap gila, dan sangat tak disukai. Yang dulunya mungkin bisa menjadi lawannya dalam berpikir dan berdebat. Yang dulunya hidup tak karuan. Perlahan, kehidupannya mulai membaik dan terlihat lebih berbahagia. Sedangkan dia sendiri, tak banyak perubahan yang terjadi. 


Hal semacam itu, sangatlah menyakitkan. 


Memilih menjadi sastrawan di era konsumerisme dan pendewaan terhadap status sosial dan ekonomi adalah kebodohan atau memang kesengsaraan yang dipilih secara sadar. Asalkan itu adalah pilihan hidup dan membuatnya lebih bijak, itu tak masalah. 


Tapi, yang jadi masalah, bukannya malah menjadi bijak tapi menjadi miskin, depresif, linglung, cemas akan masa depan, dan pemarah. Inilah yang menjadi masalah. 


Beberapa orang bisa keluar dari jebakan dunia sastra dengan memutus total keterkaitan dengan sastra, lalu mengubah pola pikir dan arah baru hidup yang dijalani. Yang lainnya, tetap menjadi sastrawan tapi realistik terhadap kehidupan. Bekerja di mana saja. Menghindari apa yang harus dihindari. Dan berani mengambil banyak kemungkinan yang bisa diambil. Walau tak terlalu idealis atau seringkali tulisannya biasa-biasa saja. Setidaknya ia cukup makmur, terhindar dari kecemasan finansial dan kejiwaan parah, dan memiliki pasangan yang ideal. Dan tentunya, tetap menulis dan terlibat dalam dunia sastra, yang mana sudah menjadi bagian penting dalam kehidupannya. 


Yang sangat menyedihkan, adalah mereka yang masih kekeh dengan cara lama dan tak mencari arah baru, biasanya, akan semakin terjerumus kian dalam. 


Saat kawan-kawan yang dikenalnya sudah mulai bermain saham, membangun bisnis, terlibat dalam proyek ini dan itu, menjadi pengusaha atau pedagang, masuk ke pemerintahan, dan mulai tertarik untuk lebih makmur dan mencari kedamaian. Ia, malah terlihat tak tertarik, bersikukuh dengan padangan hidupnya, dan sampai akhir hidupnya, sibuk dalam kemelaratan yang tidak bijaksana. 


Lalu menikah. Memiliki anak. Dan mewariskan sejarah kemiskinan dan perjuangan hidup, kemalasan, serta makian-makian ke buah hatinya, yang harusnya lebih baik tidak ia lahirkan saja. 


Dan apa yang ditulisnya selama ini, yang diperjuangkannya, ternyata sangat biasa saja dan malah diobral sebagai diskonan murah di toko-toko  buku. 


Dari situ, sastra tidak hanya membuatnya miskin secara ekonomi tapi juga miskin secara kejiwaan. Apakah hal semacam itu menyenangkan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan