Sebuah Tafsir Kebun Terakhir
Sebagian besar kelompok masyarakat tertentu mungkin menganggap industrialisasi dan modernisasi identik dengan kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban mungkin juga berarti meningkatnya ekonomi dan taraf hidup masyarakat.
Namun sebagian kelompok masyarakat lainnya mungkin juga menyadari bahwa betapa industrialisasi itu bagaikan raksasa yang buas. Raksasa buas yang menggunakan segala macam cara untuk dapat mencaplok "kehidupan" kelompok masyarakat tertentu lainnya, yaitu para petani.
Bersatunya pemilik modal, pemerintah, dan aparaturnya biasanya menjadi komposisi mulut dan taring, darah dan daging raksasa tersebut.
Taring yang merobek daging kehidupan petani yang empuk dan lezat. Mulut yang mengunyah kebahagian petani dengan tanpa merasa bersalah. Raksasa buas yang tentu saja tanpa nurani.
Barangkali demikianlah suara hati yang begitu dalam dari "aku lirik" yang untuk selanjutnya saya menyebutnya Rara Sekar dalam single terbarunya bertajuk Kebun Terakhir.
kebun yang mati
adalah kebun
yang hidup
Tanah garapan para petani yang "dicaplok" oleh raksasa tersebut telah berubah dari lahan yang penuh tanaman-tanaman hijau berganti menjadi tanaman beton menjulang dengan asap hitam yang menebar kesumpekan. Bisa jadi tanah garapan itu merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Namun demikian "kematian" itu membuat para petani dan kelompok yang bersimpati untuk membela kepentingan petani menjadi "hidup", sesuatu dalam diri mereka menjadi lebih hidup, bersemangat untuk berjuang mempertahankan prinsip mereka.
kebun yang mati
adalah kebun
di mana
aku berdiri
Rara Sekar adalah seorang yang berjuang di pihak para petani. Berdiri bersama para petani. Menyuarakan derita dan keluh kisah mereka.
(aku) melihat dan
mendengar
segala membelukar
mengakar dan
menjuntai
jadi gulma yang benar
Rara sekar dapat melihat dan merasakan perjuangan para petani dalam mempertahankan prinsipnya kian kokoh, mengakar dan membelukar, meski hal itu dianggap oleh para pihak dalam diri raksasa sebagai "perusuh/ pengganggu/ pengacau (gulma)", namun Rara Sekar berkeyakinan mereka adalah pihak yang benar "jadi gulma yang benar". Karena mereka mempertahankan hak mereka dari pihak-pihak yang melanggar hak dengan alat kekuasaan dan modal.
tanah air udara
teriakku meminta
tanah air udara
tubuh-tubuh terluka
Tanah, air, dan udara sebagai elemen penting dalam kehidupan yang akan kita "wariskan" ke generasi selanjutnya hendaknya tetap kita jaga. Menjaga dan merawat tanah agar tetap subur, menjaga dan merawat mata air tetap bersih, menjaga dan merawat udara dari polusi udara. Tidak dengan "sembrono" menjadikan lahan produktif menjadi lahan industri.
Apalagi dengan cara paksa dan cara-cara lainnya yang melanggar hak pemilik lahan dan masyarakat sekitar hingga menimbulkan korban jiwa berjatuhan atau terluka (petani dan simpatisannya),
"tanah air udara/tubuh-tubuh terluka".
"tanah air udara/ teriaklu meminta/ tanah air udara/ tubuh-tubuh terluka"
larik dengan lirik tersebut diulang-ulang oleh Rara Sekar dalam chorus seolah sebagai mantra, sebagai doa yang dipanjatkannya agar mereka: tanah, air, udara, dan, para petani, tetap terjaga, agar mereka tetap baik-baik saja meski tak pernah jeda dianiaya.
Jadi, apakah kamu juga berdiri bersama para petani seperti Hara alias Rara Sekar?
Komentar
Posting Komentar