Langsung ke konten utama

Sebuah Tafsir Kebun Terakhir

Sebuah Tafsir Kebun Terakhir

(Rara Sekar/Hara)


Sebagian besar kelompok masyarakat tertentu mungkin menganggap industrialisasi dan modernisasi identik dengan kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban mungkin juga berarti meningkatnya ekonomi dan taraf hidup masyarakat. 


Namun sebagian kelompok masyarakat lainnya mungkin juga menyadari bahwa betapa industrialisasi itu bagaikan raksasa yang buas. Raksasa buas yang menggunakan segala macam cara untuk dapat mencaplok "kehidupan" kelompok masyarakat tertentu lainnya, yaitu para petani. 


(si cantik danilla riyadi, temennya rara sekar 😀😃😄😁)


Bersatunya pemilik modal, pemerintah, dan aparaturnya biasanya menjadi komposisi mulut dan taring, darah dan daging raksasa tersebut. 

Taring yang merobek daging kehidupan petani yang empuk dan  lezat. Mulut yang mengunyah kebahagian petani  dengan tanpa merasa bersalah. Raksasa buas yang tentu saja tanpa nurani.


Barangkali demikianlah suara hati yang begitu dalam dari "aku lirik" yang untuk selanjutnya saya menyebutnya Rara Sekar dalam single terbarunya bertajuk Kebun Terakhir.


   kebun yang mati

   adalah kebun

   yang hidup


Tanah garapan para petani yang "dicaplok" oleh raksasa tersebut telah berubah dari lahan yang penuh tanaman-tanaman hijau berganti menjadi tanaman beton menjulang dengan asap hitam yang menebar kesumpekan. Bisa jadi tanah garapan itu merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka.


Namun demikian "kematian" itu membuat para petani dan kelompok yang bersimpati untuk membela kepentingan petani menjadi "hidup", sesuatu dalam diri mereka menjadi lebih hidup, bersemangat untuk berjuang mempertahankan prinsip mereka.


    kebun yang mati

    adalah kebun

    di mana

    aku berdiri


Rara Sekar adalah seorang yang berjuang di pihak para petani. Berdiri bersama para petani. Menyuarakan derita dan keluh kisah mereka.


    (aku) melihat dan

    mendengar

    segala membelukar

    mengakar dan  

    menjuntai

    jadi gulma yang benar


Rara sekar dapat melihat dan merasakan perjuangan  para petani dalam mempertahankan prinsipnya kian kokoh, mengakar dan membelukar, meski hal itu dianggap oleh para pihak dalam diri raksasa sebagai "perusuh/ pengganggu/ pengacau (gulma)", namun Rara Sekar berkeyakinan mereka adalah pihak yang benar "jadi gulma yang benar". Karena mereka mempertahankan hak mereka dari pihak-pihak yang melanggar hak dengan alat kekuasaan dan modal.


   tanah air udara

   teriakku meminta

   tanah air udara

   tubuh-tubuh terluka


Tanah, air, dan udara sebagai elemen penting dalam kehidupan yang akan kita "wariskan" ke generasi selanjutnya hendaknya tetap kita jaga. Menjaga dan merawat tanah agar tetap subur, menjaga dan merawat mata air tetap bersih, menjaga dan merawat udara dari polusi udara. Tidak dengan "sembrono" menjadikan lahan produktif menjadi lahan industri. 


Apalagi dengan cara paksa dan cara-cara lainnya yang melanggar hak pemilik lahan dan masyarakat sekitar hingga menimbulkan korban jiwa berjatuhan atau terluka (petani dan simpatisannya), 

"tanah air udara/tubuh-tubuh terluka".

"tanah air udara/ teriaklu meminta/ tanah air udara/ tubuh-tubuh terluka"

larik dengan lirik tersebut diulang-ulang  oleh Rara Sekar dalam chorus seolah sebagai mantra, sebagai doa yang dipanjatkannya agar mereka: tanah, air, udara, dan, para petani, tetap terjaga, agar mereka tetap baik-baik saja meski tak pernah jeda  dianiaya.

(Rara Sekar/Hara)


Jadi, apakah kamu juga berdiri bersama para petani seperti Hara alias Rara Sekar?


(mmm...seneng sih dapat respon sang empunya lirik)

link to the video, checkitdot:
Kebun Terakhir (official lyric video)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.           Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga ter...

Selamat Jalan Sang Pengelana

Selamat Jalan sang Pengelana: Sebuah Obituari untuk Penyair Nurel Javissyarqi (Nurel Javissyarqi) Dari kontakku dengan penulis buku Pendekar Sendang Drajat, aku mengenal seorang pelukis muda dengan medium batu candi. Kami pun menjadi akrab atau mungkin aku yang berupaya mengakrabkan diri agar memiliki seorang kawan di kota tempat tinggalku yang baru. Bila ada waktu, setelah selesai bekerja, aku kerap berkunjung di studio lukisnya sambil pesan atau dipesankan kopi di warkop sebelah studio atau makan bersama di luar kadangkala.  Kami pun ngobrol tentang segala sesuatu yang bisa diobrolkan, termasuk tentang seorang penulis yang dimiliki Lamongan.  Yang namanya pernah tercatat di koran beberapa waktu silam. Dari keakraban inilah kemudian aku diperkenalkan olehnya kepadamu.. Aku menjadi mengenalmu. Pertemuan kita pertama di sebuah acara komunitas sastra sebuah kota,  Kita sempat ngobrol di antara riuh suara panggung di belakang punggung penonton. Setelah itu kita jumpa pun han...

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink...