Panggilan Rasul Oleh: Hamsad Rangkuti MENITIK AIR mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang pertama menusuk kulit yang segera akan dipotong. Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter sepesialis dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh pakciknya, agar ia tidak melihat kecekatan tangan dokter spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang sudah beigut sering dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah. Di sekeliling pembaringan-dalam cemas yang mendalam-satu rumpun keluarga anak sunatan itu uterus menancapkan mata mereka kea rah yang sama; keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah, belum hilang dalam masa
Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Cerpen Hamsad Rangkuti Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia samil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannnya, sehingga tegur sapa di antara kami, bisa terdengar. “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling kea rah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impian yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermaink
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan Oleh: Umar Kayam Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini . Mereka sama-sama memandang ke luar jendela. “Bulan itu ungu, Marno.” “Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?” “Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?” “Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?” “Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilanglah ungu!” “Kuning keemasan!” “Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.” Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di sampaing Jane. Kepalanya sudah terasa tidak berapa enak. “Marno, sayang.” “Ya, Jane.” “Bagaimana Alaska sekarang?” “Alaska? Bagaimana
Komentar
Posting Komentar