OPOSISI, SEKS, AMERIKA





Pramoedya Ananta Toer Dialog dengan Martin Aleida


SAYA MERASA SUDAH MEMBERIKAN SUMBANGAN yang cukup untuk Indonesia. Saya ingin melewatkan hari tua saya di sini, tanpa gangguan.” Begitu kata Pramoedya Ananta Toer, prosais terbesar Indonesia masa kini, di beranda rumah betonnya yang besar kukuh, berlantai enam, yang dia rancang seNdiri, di atas tanah seluas 7.000 meter persegi di kawasan Bojonggede, Bogor. Sebagaimana Pram, yang namanya menempati posisi teratas dalam kesusasteraan Indonesia, rumahnya itu pun menjulang, paling menonjol di antara sekelilingnya, rumah-rumah penduduk yang langka terhampar berbaur dengan hutan berbukit-bukit. Mengenakan sarung dan kaus oblong, dia selalu menghabiskan waktunya di beranda, (tentu) dengan kretek yang selalu terjepit di antara jari tangan, menikmati angin yang melintas semilir dari atas kolam renang yang biru terhampar, sepelemparan batu dari ujung kakinya yang mulai renta. Hidupnya memang penuh warna. Karena prosesnya, dia pernah dijebloskan ke dalam penjara atau dibuang belasan tahun di pulau pembuangan, Buru. Sekarang, di Bojonggede, karena prosa itu juga, dia menjalani hidup yang berbunga-bunga. Dia merencanakan membangun museum pribadinya di sini. Setiap tahun, sejak 1981, Pram dinominasikan untuk menerima Hadiah Nobel Sastra. Memasuki usianya yang ke-77 tahun, Februari lalu, dia tidak menyembunyikan obesesinya untuk meraih hadiah paling terhormat tersebut, sebagaimana yang tersirat dalam percakapannya dengan penulis cerita pendek Martin Aleida di bawah ini:

Sampai pada satu titik, pernahkah Bung Pram melakukan instropeksi sehingga sampai pada kesimpulan bahwa menulis sejarah mungkin lebih efekti dibandingkan dengan menulis novel sejarah sebagaimana yang telah Bung lakukan?

Menulis sejarah? Nggak dibaca orang! Siapa membaca sejarah, sih? Kita jadi begini karena nasion kita tidak sadar sejarah. Sejarah itu tempat kita memulai perjalanan. Kalau tempat berangkat itu kita tidak tahu, bagaimana kita tahu tujuan kita? Sejarah kita menunjukkan bahwa pada waktu feodalisme probumi, seluruh penduduk membiayai feodalisme tersebut. Ketika kolonialisme dating, kita juga yang membiayai. Jadi dobel membayarnya. Lantas karena keadaan yang praktis tanpa konflik, kolonialisme Belanda dikawinkan dengan feodalisme pribumi. Hasilnya adalah subkelas, yang di Jawa dinamakan priyayi. Priyayi itu yang menjalankan penjajahan Belanda atas tanah air dan bangsanya sendiri di bawah pengawasan Belanda. Priyayi itu mencengkeram masyarakat, seluruh masyarakat. Hanya semasa revolusi cengkeramannya itu longgar, karena munculnya angkatan darat. Begitu revolusi selesai, angkatan darat dan priyayi  yang berkuasa. Dan subkelas ini berkuasa terus sampai sekarang! Orientasinya adalah kekuasaan. Itulah yang namanya Golkar, yang membikin macam-macam. Pemerasan-pemerasan. Semua orang diperas. Dengan jabatan, dengan kedudukan, sebagai modal. Itulah priyayi. Kalau (masyarakat kita) sadar sejarah, mereka harus menghalaunya.

Bagaimana sejarah kita ditulis sehingga Bung Pram yakin tidak dibaca orang? Dan bagaimana Anda mengolah sejarah itu sehingga yakin akan lebih banyak diminati orang?

            Yang ada hanya sejarah yang formal saja. Banyak analisis, tapi dari itu ke itu saja. Tidak ada penemuan-penemuan sejarah. Yang saya tulis adalah penemuan-penemuan saya sendiri.

            Bagaimana Bung mengharapkan orang membaca karya-karya Bung – sebagai pemberi ilham atau apa?

            Waktu menyambut tahun baru yang lalu, banyak wakil dari grup-grup pemuda yang datang kemari. Mereka mengatakan, “Kami ini bersatu karena membaca buku-buku Bung Pram.” Itu yang mereka katakana. Ada pula yang bilang karya-karya saya membangkitkan keberanian mereka.
            Sudah pernah dengar cerita dari Buru? Ceritanya begini, Salah seorang teman, setelah membaca rencangan Bumi Manusia, dia lantas lari, menghilang. Teman-teman sengaja tidak melapor kepada petugas tentang hilangnya orang itu. Dicari ke mana-mana, berhari-hari, nggak kelihatan. Akhirnya dia ditemukan di salah satu bagian hutan. Diseret, dibawa pulang. Orang itu ditanyai, “Mengapa lari?” Dia menjawab, “Saya mau menjadi Minke!” Sendirian dia lari. (Pram tertawa). Ya itu memang kejadian luar biasa.

            Pengaruh seperti itu yang Bung harapkan?

            Yang saya harapkan supaya mereka menyadari lingkungan historisnya. Menyadari lingkungan hidup mereka, lingkungan yang bukan dalam arti pohon-pohonan.

            Bagaiman proses Bung mencipta? Bagaimana Bung memilih bentuk? Mengapa prosa?

            Mengapa prosa? Ya, karena itu yang dibaca orang. Kalau sebagai buku ilmiah ‘kan nggak dibaca orang. Saya memang pernah menulis puisi. Tetapi, puisi tidak memberikan ruang yang bebas. Tidak memberikan ruang untuk berkomunikasi dengan publik. Puisi bias mengekspresikan diri, tetapi terbatas.
            Yah, saya ini hidup dalam penindasan. Jangan lupa itu. Sumbernya penindasan. Saya hidup dalam penindasan dan akibatnya, yang juga menjadi sumber, adalah perlawanan terhadap penindasan. Di bidang apa pun. Sejak kecil saya merasa tertindas.  Jadi, timbul sikal oposisi. Dengan sendirinya menghadapi apa saja, ya, saya memiliki sikap oposisi terhadap yang mapan. Juga oposisi terhdap jabatan, kemapanan, Dalam skala yang lebih luas, sikap perlawanan, sikap oposisi ini mendorong saya untuk mempelajari sejarah, supaya bisa menjawab mengapa bangsa saya jadi begini. Jadi, sekali lagi, sumbernya adalah perlawanan terhadap penindasan. Kata-kata kuncinya adalah oposisi terhadap penindasan. Oposisi terhadap kemapanan. Tidak hanya kemapanan jabatan. Tetapi, juga kemapanan berpikir, sehingga waktu menulis, praktis saya melawan kemapanan itu.

            Pernahkah Bung berpikir untuk menjadi pemimpin partai politik? Mungkin kalau Bung menjadi pemimpin partai politik, jalannya sejarah akan lain?

            Tidak. Saya tidak bias memimpin partai politik. Saya tak bias memerintah. Dan tidak bias menerima perintah. Dalam organisasi, yang dituntut adalah menempatkan diri di antara orang banyak. Dan itu saya nggak bias. Karena itu, banyak yang menanyakan, “Bung mau apa?” Saya katakana, “Saya mau menjadi diri saya sendiri.” Karena sikap seperti itulah, maka saya mau disingkirkan terus oleh kekuasaan.
            Sekarang Bung sudah tidak menghasilkan karya kreatif. Bagaimana Bung menjelaskannya? Karena sudah kehilangan kemampuan imajinati? Atau merasa sudah mencapai puncak?
            Saya menderita penyempitan pembuluh darah ke otak, Akibatnya kehilangan konsentrasi. Daya piker, daya ingat, semuanya sudah terganggu. Kalau dalam satu hari saya bias mengetik sebegini saja (sambil menunjukkan jarak satu inci antara tulunjuk dan ibu jarinya) sudah bagus.
            Waktu saya berkeliling di Amerika Serikat, saya hanya menyampaikan pikiran-pikiran saya melalui tanya jawab. Karena tak mungkin buat saya untuk mempersiapkannya dalam bentuk tulisan. Begitu juga dalam perjalananan saya ke Swiss nanti. Pikiran-pikiran saya hanya bias saya utarakan secara lisan, Tanya-jawab. Saya jadi teringat pula Rivai Apin. Dia itu, kalau tidak digongi tidak pernah bunyi. Sekarang saya sendiri yang jadi begitu. (Pram terkekeh panjang) Sejak kecil saya belajar bahasa Inggris dan Belanda. Saya menerjemahkan Ibunda (karya Maxim Gorky) melalui teks bahasa Inggris dan Belanda. Sekarang kemampuan itu hilang.
            Ceritanya begini. Saya mencangkul di pojok situ (Pram menunjuk bidang tanah tak jauh dari gerbang rumahnya). Biasanya saya mencangkul delapan jam sehari. Hari itu, baru satu jam saya mencangkul, turun hujan derat. Lantas saya berlindung di gubuk, yang sekarang sudah dipindahkan ke belakang. Saya istirahat sambil memejamkan mata. Waktu saya membuka mata, saya melihat semuanya ungu. Ungu! Dunia seluruhnya berwarna ungu. Kena serangan jantung saya. Pribadi saya dibikin patah oleh alam. Sejak itu kekuatan saya hilang sama sekali. Pegang cangkul saja tak kuat. Sampai sekarang! Keseimbangan kaki hilang. Apalagi kekuatan. Hilang!
            Belakangan ini mendingan. Sejak dua minggu yang lalu kekuatan terasa muncul kembali. Ketika ditawari hadiah kehormatan dari Universitas Bologna, saya katakana saya tak kuat pergi ke sana untuk menerima penghargaan itu. Tetapi, karena sekrang saya merasa agak baikan, saya berjanji, saya bersedia menerima undangan yang lain, ke Swiss bulan Maret.

            Bung ingin hidup berapa tahun lagi?

            Menurut ramalan, usia saya bias mencapai 100 tahun. Tetapi sekarang baru umur 76 kok sudah tele-tela begini (dia tertawa ngakak).
Ramalan yang tepat ada juga. Ketika saya masih kecil, di tempat saya dibesarkan, di Blora, biasa, ada orang yang berjualan dari rumah ke rumah. Penjual kain, misalnya. Masih saya ingat, wkatu itu saya kelas lima. Wanita penjaja itu memanggil saya, “Sini, Nak, sini…” Dan saya duduk disampingnya. “Coba saya lihat kakimu,” kata perempuan itu. Ia memperhatikan tapak kaki saya, Lalu katanya, “Oh, engkau bakal jadi bunga. Separo orang kan mencintai engkau, separo lagi akan membenci engkau.” Dan itu betul.
            Waktu kecil, saya juga diramalkan akan berusia 100 tahun. Padalah waktu itu saya sakit-sakitan. Ada-ada saja hidup ini dan dia terkekeh lagi). Sampai dewasa saya juga sakit-sakitan. Saya sehat itu ‘kan di Buru. Dulu, sebelum dibuang ke Buru sebentar-sebentar sakit perut. Mencret. Penyakit itu hilang di Buru. Teman-teman memberitahu saya supaya begitu bangun pagi lantas minum air putih sebanyak-banyaknya. Sampai sekarang penyakit itu hilang. Kecuali kalau salah makan. Karena itu, ke mana-mana saya selalu bawa norit. Waktu kecil sampai remaja saya juga sering kena malaria. Tak keruan. Saya juga tak bias main dengan anak sebaya. Fisik saya nggak kuat. Main gundu tak bias. Menaikkan laying-layang tak bias. Main apa saja selamanya kalah. Saya jadi penyendiri. Nggak mau menggubris orang lain.
            Sikap ayah saya sendiri juga merupakan penindasan terhadap saya. Saya minta dimasukkan ke MULO, tapi dia tolak. Sampai sekarang sakitnya masih saya rasakan. Penolakannya itu saya anggap penghinaan. Ya , memang saya bodoh. Di kelas, kalau guru sudah ngomong lima menit, pikiran saya melayang ke mana-mana (dia menahan tawa). Tapi, ada kelebihan saya. Saya berkebun. Setiap minggu saya menjual kucai ke pasar, sehingga saya tidak  pernah meminta sesuatu kepada orangtua. Sekalipun kepada ibu. Tak pernah saya meminta. Uang yang berhasil saya kumpulkan, saya belikan ayam. Ayam itu beranak-pinak sampai dengan banyak. Lantas saya beli kambing. Saya gembalakan sendiri. Dari pekerjaan sebagai penggembala kambing itu, saya tahu daun singkong itu mengandung racun yang mematikan kambing. Kalau mereka makan daun singkong, mati. Karena daun singkong mengandung sianida. Kalau mati, ibu saya yang sibuk. Pantat kambing  yang sekarat dikasih pipa yang dibuat dari batang daun papaya. Ditusukkan ke pantat kambing supaya bisa kentut. Ada yang berhasil diselamatkan. Tetapi ada juga yang mati.
            Kalau musim paceklik, saya menumbuk jagung membantu orang tua. Cari kayu bakar. Jam lima pagi saya sudah belanja ke pasar. Nggak sempat main seperti anak-anak lain.
            Waktu sudah dewasa pun, praktis saya tak punya kesempatan ke mana-mana. Apalagi di bidang seks, ndak punya pengalaman apa-apa. Saya tahu sesuatu tentang seks, setelah di Buru. Membaca buku India tentang seks. Dan saya baru tahu bahwa buah dada itu juga bagian dari seks. Karena itu, ketika saya berkeliling di Amerika dan Eropa, kalau bertemu dengan wanita pengagum saya, saya katakana “Alangkah bagusnya kau…” Dan baru di Buru saya tahu bahwa wanita bisa mencapai orgasme berkali-kali.

            Sebagai penulis Bung telah menghasilkan banyak karya. Di antaranya karya Bung yang paling mengesankan, menurut saya, adalah cerita pendek “Ke Mana?” dan “Bukan Pasar Malam”. Kalau bagi Bung sendiri yang mana? Atau yang mana yang Bung anggap sebagai karya puncak?

            Tak ada. Nggak ada, semua sama saja. Masing-masing punya fungsi pada masanya sendiri. Masing-masing merupakan produk dari masanya.

            Di dalam karya-karya itu Bung telah menciptakan sekian banyak tokoh dengan watak dan sikap yang berbeda satu sama lain. Pernahkah Bung mempertanyakan kembali sikap tokoh dalam karya-karya Bung?

            Pernah. Saya pernah memberikan koreksi pada Keluarga Gerilya. Waktu itu saya sudah berkenalan dengan realism sosialis. Realisme sosialis itu ‘kan harus mengangkat orang-orang yang tidak punya sikap dan menjadi hamba keadaan. Mereka harus diangkat dan diberikan keberanian , dan berhasil. Dalam Keluarga Gerilya tokoh Saaman menyerah, ditembak mati. Mestinya dia melawan! Itu setelah saya berkenalan dengan realism sosialis. Tetapi, saya tidak pernah melakukan perubahan terhadap novel itu.

            Berarti ada perbedaan antara tokoh yang diidealkan realism sosialis, sebagaiman yang Bung ketahui kemudian, dengan tokoh semacam Saaman yang telah Bung tulis. Bukankah hal itu menimbulkan keresahan? Bagaimana yang Bung rasakan ketika itu?

            Tak pernah saya pikirkan. Sudah, biarkanlah begitu saja.

            Bagaimana prosesnya sampai Bung memutuskan Saaman menyerah kalah? Dan bagaimana pula suasana perasaan Bung ketika menutup cerita itu?

            Saya membaca karya-karya Jassin di dalam penjara. Di dalam penjara Belanda ‘kan bebas membaca. Keluarga Gerilya ditulis dengan pengaruh H.B. Jassin. Pengaruh humanism universal. Dia adalah guru saya. Yang paling menghianati saya. Dia menjadi nabi humanism universal. Padalah, kemanusiaannya, jangkankan universal, nasional saja nggak. Lihat, dia diangkat Mahaputra oleh rezim pembunuh. Bagaimana itu orang? Karena itulah, ketika dia sakit dan sampai meninggal saya tidak datang.

            Beberapa waktu lalu Bung berkeliling di Amerika Serikat dan menerima gelar doctor kehormatan di sana. Padalah dalam sikap politik, Bung anti Amerika. Bagaimana menjelaskan sikap Bung ini?

            Saya sendiri bingung. Saya sendiri tak habis piker sampai sekarang. Waktu saya diinjak-injak oleh Harto (maksudnya bekas presiden Soeharto), Amerika Serikat memberikan penghargaan, walaupun uangnya kecil. Karena Amerika Serikat memberikan penghargaan, sikap dunia menjadi lain. Karena Amerika memberikan penghargaan, maka Filipina menyusul memberikan. Terus, Jepang juga memberikan penghargaan. Jepang yang terakhir.
            Saya berkeliling di Amerika Serikat, dan mendapat macam-macam. Memperoleh gelar doktor kehormatan. Segala macam. Aneh sekali. Yang terakhir berhubungan dengan sweeping, Amerika menyelamatkan kertas-kertas saya. Malahan menawarkan kalau dalam sweeping memerlukan bantuan keamanan, “Kami akan kirimkan,” kata mereka. Saya sampai tak mengerti. Ada apa ini? Kalau ketemu duta besar Amerika terus berpelukan. Nggak ngerti saya, ada apa ini? Dan yang paling mengampanyekan supaya saya memperoleh Hadiah Nobel adalah Amerika Serikat.

            Mungkin Amerika menganggap Bung tetap merupakan kekayaan kemanusiaan, sekalipun Bung mengecam mereka.

            Nggak ngerti saya.

            Apakah Bung pernah menyesal atas sikap yang Bung ambil?

            Nggak. Amerika Serikat sampai sekarang ‘kan terus meneror seluruh dunia. Soekarno jatuh, siapa yang menjatuhkannya?

 Probolinggo, 19 Mei 2017
Diketik ulang dari Jurnal PROSA, 2.2002, Metafor Publishing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Hamsad Rangkuti: Panggilan Rasul

Cerpen Hamsad Rangkuti: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Cerpen Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan